Kepanikan menyusul peringatan dini tsunami yang dikeluarkan pemerintah merespons gempa Cili patut diikuti kajian dan evaluasi. Perbaikan untuk meningkatkan kesiapsiagaan mengingat gempa dan tsunami bisa melanda Indonesia sewaktu-waktu.
”Kejadian ini jangan dilewatkan begitu saja. Kita harus mengevaluasi untuk perbaikan sistem,” kata Irina Rafliana, peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Minggu (6/4).
Menyusul gempa Mw 8,2 di Cili, Rabu malam, Indonesia Tsunami Early Warning Center (InaTEWS) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini tsunami terhadap 115 lokasi di kabupaten/kota di 19 provinsi. Peringatan yang kemudian disebarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan media massa itu memicu kepanikan di sejumlah tempat.
Menurut Irina, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cilacap dan Bantul, misalnya, memutuskan mengevakuasi masyarakat di wilayah administratifnya. Warga Siberut di Mentawai bahkan dilaporkan mengungsi dan meliburkan siswa sekolah sehari.
”Komentar tentang ancaman tsunami yang simpang siur mewarnai media sosial yang cenderung pada kesimpulan tak bekerjanya sistem peringatan dini tsunami dengan baik,” kata dia.
Penyebaran peringatan dini ke 115 lokasi itu juga dikritik para peneliti gempa dan tsunami. Itu dianggap berlebihan. Beberapa negara, seperti Jepang, juga mencabut peringatan dini tsunami hanya dua jam setelah gempa Cili. Namun, Indonesia tak mencabut hingga pagi. Peringatan dini tsunami yang tak akurat bisa mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat (Kompas, 4/4).
Irina menghubungi BNPB untuk memfasilitasi pengkajian dan evaluasi sistem peringatan dini ini. ”BMKG juga positif dengan ide ini,” kata dia.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, evaluasi InaTEWS dilakukan sejak gempa Mw 8,5 pada 11 April 2012. ”Banyak perbaikan sistem. Yang paling sulit perubahan budaya masyarakat dan pemda,” kata dia.
Menurut Sutopo, dalam peringatan Waspada menyusul gempa Cili sudah disampaikan, ”Tidak perlu mengungsi. Tetap tenang, karena potensinya kecil. Namun, masih ada yang mengungsi ke bukit karena trauma.”
Abdul Muhari, peneliti Indonesia pada International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS) Tohoku University, Jepang, mengatakan, InaTEWS di Indonesia relatif baru sehingga wajar ada kekurangan. Sulit dibandingkan dengan Jepang yang membangun sistem sejak 1941 atau Amerika pada 1949. ”Yang penting tidak paranoid dengan kata ’evaluasi’. Sebaiknya fokus melihat ’apa yang salah’ dan bukan ’siapa yang salah’,” kata dia.
Menurut Muhari, perbaikan InaTEWS tak hanya perlu pada penyebaran informasi, tetapi juga sistem dan perangkatnya. Saat gempa Mentawai 2010, sistem dimatikan ketika tsunami berlangsung. Sistem peringatan di Papua 2011 juga mati saat tsunami Jepang masih berlangsung. Sebaliknya, saat gempa Cili, peringatan terasa berlebihan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR