Meski demikian, Vatikan menyatakan punya tanggung jawab secara tidak langsung untuk memastikan konvensi anti-kekerasan ditaati oleh 440.000 imam di seluruh dunia. Namun, tanggung jawab ini tak sampai pada tataran kendali hukum.
"Kami tidak meminta Takhta Suci bertanggung jawab atas setiap orang Katolik. Namun, (kami katakan) Takhta Suci tak menjalankan kendali atas beragam perilaku yang signifikan di luar empat penjuru Vatican City," tepis Gaer.
Vatikan menyatakan, laporan komite ini tak secara eksplisit menyebutkan apakah pemerkosaan dan pelecehan seksual merupakan bentuk kekerasan sehingga muncul tuduhan pelanggaran konvensi ini.
PBB, kata Vatikan, hanya membuat asumsi mendasar secara implisit bahwa setiap pelecehan seksual setara dengan penyiksaan, sebuah asumsi yang tak tercakup dalam konvensi. Pendapat ini, menurut anggota panel anti-kekerasan PBB, sudah dimentahkan oleh hukum internasional.
"Kami tidak mengatakan setiap pelecehan seksual setara dengan bentuk penyiksaan. Kami perlu melihat keadaan (perkaranya). Yang dipersoalkan di sini adalah tanggung jawab negara," kata Ketua Komite Claudio Grossman. "Negara harus terkena tanggung jawab ketika tak ada pencegahan atau penyidikan dan hukuman."
Pada 2001, meminta para uskup dan jajarannya mengirimkan laporan kasus penyimpangan seksual para imam ke Roma untuk ditelaah. Temuan yang didapat, para imam pelaku paedofilia hanya berpindah dari satu keuskupan ke keuskupan lain alih-alih mendapat sanksi dari Vatikan atau berhadapan dengan penyidikan hukum.
Kemudian pada 2010, Vatikan memperbarui kebijakan itu dengan mengatakan kepada para uskup dan pemuka gereja bahwa mereka harus melaporkan kasus-kasus pelecehan yang kredibel, bila diminta oleh aparat hukum setempat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR