Komite Anti-kekerasan PBB, Jumat (23/5), mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa Vatikan tak mengontrol para uskup dan imam di seluruh dunia sesuai keharusan dalam konvensi anti-kekerasan PBB yang telah mereka ratifikasi.
Komite Anti-kekerasan PBB menyimpulkan, para pejabat Vatikan tak melaporkan tindakan pelecehan seksual di lingkungannya ke otoritas hukum, lebih banyak memindahkan para imam pelaku pelecehan alih-alih menjatuhkan tindakan disiplin, dan tak memberikan kompensasi yang memadai bagi para korban.
Meskipun panel ini tak secara eksplisit mengatakan Takhta Suci melanggar konvensi anti-kekerasan PBB yang diratifikasi oleh negara kota ini pada 2002, secara implisit tuduhan tersebut sudah tersirat.
"Para sarjana hukum akan memberitahu Anda ketika komite membahas dan membuat rekomendasi ini, bahwa dia melihat negara tersebut (Vatikan) tak menjalankan konvensi," kata wakil ketua panel, Felice Gaer, Jumat. "Ini benar-benar jelas apa yang kami sampaikan."
Laporan ini diperkirakan akan menguatkan langkah para korban pelecehan imam menuntut Vatikan lebih bertanggung jawab secara hukum atas kasus kekerasan ini.
Dalam tanggapannya, Takhta Suci mengatakan, struktur gereja tidaklah terorganisasi secara terpusat berupa alur top-down seperti yang kerap menjadi salah satu argumentasi keluarga korban.
Pada awal Mei 2014, Takhta Suci menyampaikan kepada komite ini bahwa mereka telah memecat 848 imam yang terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap anak. Selain itu, 2.572 imam yang lain mendapatkan sanksi yang lebih ringan untuk perkara yang sama sejak 2004.
Data tersebut merupakan angka yang ditangani langsung oleh Takhta Suci di Vatikan, bukan di tingkat keuskupan. Kuat dugaan, angka kasus sesungguhnya di lapangan jauh lebih banyak.
Sanggahan Vatikan pun mentah di komite PBB ini. Komite berpendapat, Vatikan tetap harus bertanggung jawab secara hukum untuk menegakkan konvensi anti-kekerasan di dalam lingkup Vatikan.
Selama ini para pemimpin gereja berpendapat bahwa tanggung jawab hukum atas pelanggaran termasuk pelecehan seksual semacam ini merupakan tanggung jawab para uskup serta para individu imam, bruder, dan suster.
Menurut Komite Anti-kekerasan PBB, Vatikan seperti halnya negara lain, harus memastikan bahwa konvensi yang telah diratifikasinya dijalankan oleh semua perwakilannya di seluruh dunia.
Argumentasi Vatikan bahwa mereka tak memegang kendali personel gereja di luar Vatikan City dinilai sebagai ketidakkonsistenan Vatikan menerapkan hukum, baik konvensi internasional maupun hukum mereka sendiri.
Dalam jawabannya, Jumat, utusan Vatikan menyatakan, komite telah menggunakan penalaran yang ceroboh. Menurut Vatikan, logika yang dipakai komite menempatkan seolah-olah semua imam yang memberikan pelayanan di seluruh dunia terikat secara hukum dengan Vatikan.
Meski demikian, Vatikan menyatakan punya tanggung jawab secara tidak langsung untuk memastikan konvensi anti-kekerasan ditaati oleh 440.000 imam di seluruh dunia. Namun, tanggung jawab ini tak sampai pada tataran kendali hukum.
"Kami tidak meminta Takhta Suci bertanggung jawab atas setiap orang Katolik. Namun, (kami katakan) Takhta Suci tak menjalankan kendali atas beragam perilaku yang signifikan di luar empat penjuru Vatican City," tepis Gaer.
Vatikan menyatakan, laporan komite ini tak secara eksplisit menyebutkan apakah pemerkosaan dan pelecehan seksual merupakan bentuk kekerasan sehingga muncul tuduhan pelanggaran konvensi ini.
PBB, kata Vatikan, hanya membuat asumsi mendasar secara implisit bahwa setiap pelecehan seksual setara dengan penyiksaan, sebuah asumsi yang tak tercakup dalam konvensi. Pendapat ini, menurut anggota panel anti-kekerasan PBB, sudah dimentahkan oleh hukum internasional.
"Kami tidak mengatakan setiap pelecehan seksual setara dengan bentuk penyiksaan. Kami perlu melihat keadaan (perkaranya). Yang dipersoalkan di sini adalah tanggung jawab negara," kata Ketua Komite Claudio Grossman. "Negara harus terkena tanggung jawab ketika tak ada pencegahan atau penyidikan dan hukuman."
Pada 2001, meminta para uskup dan jajarannya mengirimkan laporan kasus penyimpangan seksual para imam ke Roma untuk ditelaah. Temuan yang didapat, para imam pelaku paedofilia hanya berpindah dari satu keuskupan ke keuskupan lain alih-alih mendapat sanksi dari Vatikan atau berhadapan dengan penyidikan hukum.
Kemudian pada 2010, Vatikan memperbarui kebijakan itu dengan mengatakan kepada para uskup dan pemuka gereja bahwa mereka harus melaporkan kasus-kasus pelecehan yang kredibel, bila diminta oleh aparat hukum setempat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR