Seekor elang ular bido (Spilornis cheela) melintas di udara, di atas ladang yang terlihat bekas terbakar. Saya harus menghentikan mobil untuk memantau ke mana perginya si burung elang. Elang itu menuju kawasan hutan tepat dibelakang ladang itu.
Saya sudah satu jam meninggalkan kota kota Calang, Aceh Jaya, ke arah selatan. Jalanan aspal sudah jauh tertinggal di belakang. Di depan, terlihat gugusan perbukitan yang tiada putus.
Sinar matahari masih samar, kabut pagi masih menutupi sebagian besar wilayah perbukitan ketika saya harus turun dari mobil lantaran jalan semakin menyempit. Perjalanan hari itu harus saya lanjutkan dengan berjalan kaki. Tanah yang berlumpur tidak menyurutkan langkah agar dapat bertemu dengan burung-burung yang ada dalam kawasan hutan Krueng Sabee.
Dari kejauhan, suara burung kuaw terdengar memanggil. Biasanya pagi-pagi kuaw jantan akan bersuara menandakan dia telah siap membereskan serasah, tempat dia membuat arena untuk kawin. Pengamat burung, Tedi Wahyudi memberi tahu saya bahwa suara itu kerap terdengar pagi hingga menjelang siang.
Burung jenis ini, kata Tedi, sulit dijumpai di alamnya. Mereka biasanya membangun sarang di semak-semak. Selain dari suaranya, kuaw biasa dikenali dengan serasah tempat mereka kawin. “Di arena ini, kita bisa lihat banyak sekali bulu-bulu mereka yang lepas,” kata Tedi.
Sayangnya, kami hanya bisa mendengar suaranya. Sulit menemukan kuaw langsung di alam karena mereka memiliki penciuman dan naluri yang tajam. Sedikit saja terganggu, kuaw akan lari menjauh. Setidaknya, suara kuaw menandakan bahwa jenis ini masih bertahan hidup.
Burung-burung lain mulai beterbangan di sekitar jalur yang kami lewati. Tak jarang kami berhenti untuk memantau lebih jauh lagi. Dua orang pemandu lapangan dari ranger komunitas Aceh Jaya sibuk membuka buku panduan pengamatan burung.
Tiba-tiba kami dikejutkan dengan kemunculan sosok burung yang agak besar. Burung itu terbang tepat didepan jalur yang kami lewati. Saya dengan sigap mengabadikannya dengan kamera sebelum burung itu pergi jauh.
Tedi tersenyum, katanya itu burung Bubut besar (Centropus sinensi). Tak sulit menjumpai burung semak itu. Mereka biasa terbang rendah dan hinggap di pohon-pohon perdu untuk mencari serangga. Kami berjalan mengendap-endap, kalau penting maka kami bicara dengan berbisik-bisik. Berupaya agar kedatangan kami ke kawasan hutan itu tidak mengganggu keceriaan penghuninya.
Burung pertama yang kami perhatikan seksama dari keluarga bulbul, merbah corok corok (Pycnonotus simplex). ”Bentuk badannya yang agak kecil, di Sumatera umumnya jenis ini bermata putih sementara di Kalimantan warna matanya condong merah. Di Jawa, jenis ini hanya ditemui di beberapa tempat. Bahkan di pulau Bali malah tidak ditemukan sama sekali,” bisik Tedi.
Menurut Tedi, jenis ini merupakan jenis yang paling sedikit mendapat perhatian. Tidak banyak pemerhati burung di dunia yang memerhatikan jenis ini. Selain jumlahnya masih banyak, burung ini kerap dijumpai pada hutan dataran rendah di bawah 500 meter dari permukaan laut.
Jenis-jenis lain muncul bersamaan. Kadang kami sulit menentukan arah kamera karena mereka hinggap dan terbang tak terkendali. Sementara kedua orang ranger komunitas yang memandu kami terus mengintai teropong binokular.
Beberapa jenis bewarna menarik muncul. Pada sebuah pohon yang patah, seeokor Takur tutut (Megalaima rafflesi) tengah sibuk mandi. Kepala hanya muncul sesekali. Kami mengintipnya dibalik teropong dan kamera.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR