WWF-Indonesia melalui Seafood Savers, bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengadakan diskusi terbuka bertema "Peran Aktif Sektor Swasta dalam Pemenuhan Persyaratan Pasar Ekspor dan Domestik Terkait Perikanan Berkelanjutan" di tiga kota: Medan, Jakarta, Surabaya.
Pelaksanaan kegiatan ini dilatarbelakangi oleh kondisi suram perikanan Indonesia yang saat ini mengisyaratkan kebutuhan akan perbaikan praktik perikanan. Demikian dikatakan dalam siaran pers yang diterima National Geographic Indonesia hari ini, Kamis (12/6).
Menurut data KKP pada 2013, terjadi penurunan potensi perikanan di berbagai wilayah perairan Indonesia. Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571 yang mencakup Selat Malaka dan Laut Andaman menunjukkan penurunan produksi perikanan tangkap di laut yaitu dari 509.171 ton (2012) menjadi 475.489 ton (2013).
Sementara di WPP 572 Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda juga telah terjadi penurunan produksi perikanan tangkap di laut yaitu dari 576.632 ton (2012) menjadi 575,091 ton (2013).
Hasil serupa juga ditunjukkan dari angka tangkapan per unit yang terus mengalami penurunan pada rentang 2004-2011.
Ini tak pelak menunjukkan realitas di lapangan, di mana nelayan harus menempuh jarak yang lebih jauh dan mengeluarkan usaha yang lebih besar untuk mendapat hasil tangkapan.
Diskusi di tiga kota besar tersebut menggarisbawahi pentingnya penerapan praktik perikanan yang berkelanjutan sebagai upaya untuk mengembalikan sumber daya perikanan Indonesia. Praktik perikanan yang berkelanjutan adalah praktik perikanan dengan cara-cara yang ramah lingkungan seperti tidak menggunakan bom, sianida, dan alat tangkap yang tidak selektif. Selain itu, praktik perikanan yang berkelanjutan juga didukung oleh manajemen bisnis dan lingkungan yang baik, serta memerhatikan keseimbangan antara aktivitas pemanfaatan dengan kondisi populasi spesies di alam.
Praktik berkelanjutan juga memberikan keuntungan tambahan bagi pelaku yang menerapkannya, karena perkembangan tren pasar. "Dari sisi pasar, ke depan, produk-produk perikanan yang berasal dari hasil pengelolaan yang lestari merupakan keniscayaan. Kesadaran masyarakat secara global akan ini sudah jadi tren yang positif," jelas Saut P. Hutagalung, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan-KKP.
Praktik yang berkelanjutan bukan sebatas perlindungan alam, tapi juga mendukung terhadap kelangsungan bisnis perikanan. Perusahaan dan asosiasi menyampaikan kendala mereka dalam memperoleh pasokan ikan beberapa tahun belakangan ini.
Margareth Meutia, Koordinator Seafood Savers WWF-Indonesia, mengungkap, "Industri perikanan Indonesia perlu melihat praktik perikanan berkelanjutan sebagai investasi, bukan biaya tambahan yang memberatkan.
Inti praktik perikanan berkelanjutan adalah ketersediaan sumber daya ikan yang berkelanjutan, yang akan menjamin keberlangsungan bisnis mereka di masa mendatang. Pasar untuk produk perikanan berkelanjutan terus berkembang, tidak hanya di Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga ke pasar Asia seperti Jepang."
Penghargaan dari pasar domestik maupun internasional untuk produk perikanan berkelanjutan menjadi kunci perubahan industri perikanan Indonesia.
(Baca: Mungkinkah Sertifikasi Udang Mampu Dorong Pelestarian Lingkungan?)
"Dari ketiga diskusi ini, kami memperoleh masukan dari perusahaan bahwa praktik berkelanjutan dapat terwujud bila pasar menghargai upaya perusahaan yang mau menerapkan standar keberlanjutan," tutup Margareth.
Seafood Savers adalah inisiatif yang dibentuk oleh WWF pada tahun 2009 yang ditujukan sebagai platform relasi antarusaha untuk memfasilitasi produsen perikanan, ritel, rumah makan, hotel, dan kelompok institusi keuangan menuju bisnis dan praktik perikanan yang berkelanjutan. Seafood Savers mengacu pada dua sertifikasi perikanan berkelanjutan—Marine Stewardship Council (MSC) untuk perikanan tangkap, dan Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk perikanan budidaya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR