Nama Desa Pragaan Daya di Sumenep tenar hingga seantero Tanah Air setelah sebuah program di televisi swasta menahbiskan desa ini masuk dalam tujuh desa teraneh di dunia. Aneh karena mayoritas penduduk di desa ini berprofesi sebagai pengemis.
Sebaran pengemis di desa ini pun tidak hanya sampai Surabaya. Daerah luar pulau seperti Kalimantan, Bali, dan Batam pun masuk peta sasaran.
Sebenarnya tidak semua warga mengemis, tetapi golongan ini tidak cukup kuat untuk menghilangkan label pengemis yang melekat pada desanya. Dari tahun ke tahun, jumlah pengemis di desa ini menurun, tetapi masih tergolong besar.
Beberapa warga yang ditemui Surya memperkirakan angkanya masih berkisar 60 persen dari total 8.000 jiwa yang tersebar di enam dusun di Desa Pragaan Daya.
Kepala Desa Pragaan Daya, Imrah, membantah keras besaran persentase itu. Menurut Imrah, kini warganya lebih banyak bergelut di dunia pendidikan dan kuli bangunan.
”Memang ada yang mengemis. Tapi sekarang tinggal 5 persen saja,” bantah Imrah.
Sejumlah warga sekitar yang ditemui Surya mengatakan, mengemis sudah menjadi tradisi di desa yang terletak sekitar 33 kilometer dari pusat Kabupaten Sumenep itu.
KH Maimun Mannah mengatakan, mengemis sudah menjadi tradisi sejak 1940-an. Dia sendiri tidak tahu siapa yang mengawali tradisi ini. Hanya saja, mengemis diawali di Dusun Nong Pote. Beberapa tahun kemudian merembet ke dusun-dusun di sekitarnya.
”Alasan warga dulu cuma masalah ekonomi,” tuturnya. Sumber alam desa itu memang tidak cukup memberi penghidupan. Tanahnya kering dan gersang. Tidak ada tanaman pertanian yang bisa tumbuh.
“Dulu orang bilang, untuk bertahan hidup hanya ada dua cara, menjadi penjahat atau pengemis. Karena tidak merugikan orang dan halal, banyak warga yang menjadi pengemis,” cerita Maium.
Zaman berkembang. Sejumlah pengemis sukses muncul di sana. Mereka hidup lebih makmur dibanding lainnya.
Mereka bisa membangun rumah tembok berukuran besar. Rumah yang tergolong mentereng untuk ukuran orang desa, apalagi dengan perabotan yang mentereng pula.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR