Walau hasil resmi atas pemungutan suara pemilihan presiden belum diketahui, tetapi dari penghitungan suara cepat yang sudah dilakukan sejumlah lembaga survei sudah menunjukkan siapa calon yang mendapat suara terbanyak. Bagi pendukung salah satu pasangan calon yang memperoleh suara lebih kecil, hasil tersebut mungkin akan memicu rasa kecewa, bahkan sakit hati.
Menurut psikolog Sani B Hermawan, rasa kecewa dan sakit hati merupakan reaksi wajar yang dialami pendukung calon yang kalah. Tentu mereka memiliki harapan besar bagi tokoh yang mereka nilai layak menjadi pemimpin, namun nyatanya tokoh tersebut tidak menang.
Apalagi kebanyakan pendukung bukan hanya melibatkan pikiran, tetapi juga emosi dan nuansa hati. Tentu kekalahan akan menorehkan kekecewaan mendalam bagi mereka.
"Semakin besar pikiran dan emosi dilibatkan, maka semakin besar pula kekecewaan yang terjadi saat tokoh yang didukung kalah," kata Sani saat dihubungi Kompas Health belum lama ini.
Namun bagaimana pun hasil tersebut perlu disikapi dengan lapang dada. Kecewa yang berlebihan akan membebani mental, bahkan yang lebih buruk bisa menyulut hubungan yang tidak baik dengan orang lain yang mendukung tokoh yang berbeda.
Menurut Sani, bersikap realistis adalah jalan terbaik untuk menghapus kekecewaan tersebut. Dengan bersikap realistis, seseorang akan menyadari bahwa dalam setiap pertarungan pasti ada yang menang dan kalah.
"Bersikap realistis akan membuat perasaan lebih lega, lebih tenang, lebih rela apapun yang terjadi," ungkapnya.
Sani pun menekankan perlunya sikap menghargai kemenangan pihak lain. Terlebih dalam sebuah pesta demokrasi semua adalah pemenang karena calon yang terpilih pasti bertujuan untuk membuat bangsa dan negara lebih maju.
Mengurangi rasa kecewa juga bisa dilakukan dengan menyalurkan aspirasi melalui kegiatan-kegiatan sosial. "Mendukung calon presiden itu kan juga tujuannya untuk menyejahterakan rakyat, kenapa tidak menyalurkannya dengan kegiatan sosial yang nyata membuat sesama lebih sejahtera?" tandasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR