"Jangan berharap kepresidenan Jokowi akan lancar," kata Dr Marcus Mietzner, Associate Professor dari Australian National University kepada saya.
"Dia tidak akan menjadi juru selamat yang diharapkan banyak orang. Dia juga kemungkinan besar tidak akan menjadi presiden yang hebat.
Jokowi akan mengalami kesulitan terkait gaya pemerintahannya di tingkat nasional. Tidak ada yang pernah mencoba apa yang dia lakukan sebelumnya. "
Dr Mietzner mengacu pada gaya informal Jokowi, gaya yang ia jalani semasa menjadi wali kota Solo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Indonesia.
Di sanalah dia menjadi terkenal, menggerakkan 500.000 penduduknya dengan janji-janji untuk memberantas korupsi dan menghilangkan sistem birokrasi bertele-tele.
Dan justru karena janji-janji seperti itulah Jokowi mendapatkan begitu banyak penggemar di seluruh negeri ini.
Inspeksi mendadak ke kantor-kantor pemerintahan dan gaya "blusukan-nya" membuat Jokowi menjadi pahlawan di antara kaum miskin Indonesia.
"Dia adalah pria yang baik," kata Ngatirin, seorang pria berusia 45 tahun yang memilih Jokowi pada pilpres 9 Juli lalu. "Dia bekerja keras dan dia mencoba berbuat baik untuk orang-orang. Dia adalah salah satu dari kami."
Kendati dukungan rakyat penting dalam memenangi pemilihan umum dan pemilihan presiden, dukungan rakyat saja tidak akan banyak berguna ketika Jokowi berkuasa dan harus menghadapi anggota-anggota parlemen.
"Jokowi akan menghadapi tantangan internal di dalam koalisi," kata Dr Mietzner. "Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki mayoritas 70% di parlemen dan itu tidak membantu sama sekali. Joko Widodo akan mencoba untuk melibatkan parlemen secara langsung dibandingkan membangun koalisi, tetapi itu akan menjadi tantangan."
Hal itu karena koalisi Jokowidari partai-partai saat ini memegang sekitar sepertiga dari seluruh kursi di parlemen Indonesia, sedangkan koalisi Prabowo Subianto menguasai sekitar dua pertiga dari keseluruhan kursi.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR