Lokasi Gua Sinjang Lawang berada di Dusun Parinengan, Desa Jadimulya, Kecamatan Langkap Lancar, Kabupaten Pangandaran. Gua ini memiliki panjang 500 meter yang dilewati oleh aliran Sungai Cijulang, lebar sekitar 65 meter dengan tinggi 60 meter.
Menyusuri Gua Sinjang Lawang ini bisa dilakukan dengan cara berenang menggunakan pelampung, helm, head lamp, dan ban karet yang disediakan pemandu wisata dari Cukang Taneuh atau Green Canyon yang ditunjuk oleh warga dusun tersebut untuk menemani pengunjung. Itu dilakukan karena warga di dusun tersebut belum ada yang ahli dan berpengalaman memandu penyusuran gua. Warga di dusun itu pun baru sadar gua tersebut bisa jadi obyek wisata andalan mengalahkan Green Canyon.
Objek wisata ini bisa diakses dari kawasan Pantai Pangandaran dengan mengambil rute ke arah objek wisata Citumang yang berada satu jalur menuju kawasan Pantai Batu Karas atau Greend Canyon. Dari objek wisata Citumang, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit menuju Dusun Parinengan.
Setibanya di Dusun Parinengan, pengunjung harus berjalan kaki melewati jalan setapak menuju mulut gua dengan jarak 1 kilometer. Atau, pengunjung bisa menuju mulut gua menggunakan ban karet dengan menyusuri aliran sungai.
Kedalaman aliran sungai di dalam gua sendiri bervariasi. Ada yang dangkal dan ada pula yang cukup dalam, yakni 1,5 meter hingga 3 meter. Namun, pengunjung bisa melaluinya dengan bantuan pelampung atau ban karet.
Sepanjang 500 meter di dalam gua, pengunjung akan menikmati fenomena alam di dinding dan langit- langit gua berupa stalaktit. Di tengah-tengah gua, saat siang hari, pengunjung bisa melihat sinar matahari menembus gua melalui langit-langit gua yang terbuka lebar. Pemandangan sinar matahari menembus gua itu menjadi pemandangan menarik karena berkelindan dengan stalaktit, serta ukiran batu hasil proses alam.
Tidak hanya itu, sinar matahari yang menembus gua dari atap gua lalu mengenai air di aliran sungai ini juga memantulkan warna hijau toska, hijau, dan merah ke dinding-dinding gua. Perpaduan warna yang bisa dilihat di dinding gua ini bisa membuat pengunjung takjub. Di ujung gua, pengunjung akan melihat fenomena alam di langit-langit gua berupa ukiran batu membentuk hati.
Setelah menikmati pemandangan batu-batu kapur dalam bentuk nan unik, pengunjung pun akan mengakhiri perjalanan di ujung gua yang dikelilingi hutan kecil milik warga.
Karena belum ada akses menuju titik pertama dari ujung gua, untuk kembali pulang pengunjung harus kembali menyusuri gua. Bisa kembali dengan berenang atau berjalan di batuan kapur di atas aliran sungai di dalam gua. Hanya saja, jika memilih pulang dari gua dengan berjalan di batuan kapur, harus dilakukan ekstra hati-hati karena jalan licin. Maka lebih baik melawan arus air yang tenang untuk kembali ke titik pertama penelusuran gua.
Warga dusun tersebut menamakan gua ini Sinjang Lawang—disebut demikian karena di dinding di mulut gua ini terdapat ukiran batu mirip batik yang tercipta karena proses alam. Ukiran batu karena proses alam ini membentuk motif batik khas Sunda dalam kain sinjang atau dalam bahasa Indonesia disebut sarung.
Gua yang dialiri sungai bawah tanah Cijulang ini terbilang kawasan wisata baru di Kabupaten Pangandaran, meski keberadaannya sudah sejak lama. Sejak dua bulan lalu, gua ini diperkenalkan pada dunia luar. Itu sebabnya warga di sana sangat antusias membangun prasarana wisata dengan keyakinan bahwa mereka bisa berdaya secara ekonomi dengan memanfaatkan gua tersebut sebagai objek wisata alam.
Kepala Dusun setempat, Ujang Solihin (48), mengatakan semua warga di dusun itu sudah mengetahui keberadaan gua tersebut. Hanya saja, mereka tidak sadar bahwa gua tersebut bisa jadi modal wisata yang bisa mereka kembangkan.
"Kami sudah tahu tempat ini sejak lama. Tapi memang kami baru ingin mengembangkan gua ini sebagai objek wisata terbaru di Pangandaran yang tidak kalah dengan Green Canyon," katanya.
Jauh sebelumnya, kata Ujang, banyak warga yang sering mengunjungi lokasi tersebut untuk sekadar memancing di dalam gua. Hanya saja, tidak banyak warga yang bisa menembus gua tersebut hingga ke ujung. "Enggak pernah ada yang berenang atau sekadar menyusuri gua karena mungkin masih takut," ujarnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR