Yeondeunghoe, festival lentera teratai, Republik Korea
Dalam filsafat Buddha, cahaya kebijaksanaan memiliki kapasitas untuk mengusir kegelapan dan ketidaktahuan manusia. Keyakinan inilah yang menjadi alasan dibalik Festival Yeondeunghoe, perayaan ulang tahun Buddha di Korea.
Pada hari kedelapan bulan lunar keempat, orang-orang membawa lentera buatan tangan. Lentera besar dibawa dengan mobil, berparade di sepanjang jalan sebagai puncak dari Festival Yeondeunghoe.
Dimulai sebagai festival keagamaan pada masa Dinasti Silla (57 SM - 935 M), festival tradisional ini menarik ribuan pengunjung setiap tahun.
Pada festival ini seluruh negeri menyalakan lentera berbentuk teratai di jalanan dan rumah. Mereka juga berdoa memohon kedamaian dan kebahagiaan seluruh negeri kepada sang Buddha.
Baca Juga: Dahulu Dianggap Buruk, Bagaimana Festival Peh Cun Dirayakan Meriah?
Festival memotong rumput, Bosnia dan Herzegovina
Setiap bulan Juli, warga berbondong-bondong datang untuk menyaksikan kompetisi unik di Kupres, Bosnia-Herzegovina.
Para pria mengenakan pakaian tradisional berkumpul di padang rumput atau strljanica sambil membawa sabit buatan tangan. Saling berlomba untuk memotong rumput, pemenangnya ditentukan berdasarkan waktu, tenaga, dan banyaknya rumput yang dipotong.
Festival memotong rumput sudah ada sejak 200 tahun yang lalu, diawali dari kebutuhan penduduk akan rumput sebagai pakan ternak. Di musim semi, penduduk setempat bepergian ke pegunungan selama berbulan-bulan untuk mengumpulkan rumput. Cadangan rumput ini akan digunakan untuk memberi makan ternaknya yang berharga selama musim dingin.
Menguasai keterampilan memotong rumput hanyalah bagian dari penilaian yang baik. Peserta harus mahir menggunakan sabit. Selain kompetisi, pengunjung juga dapat menikmati pertunjukan hewan, kerajinan tangan, atraksi dan tarian.
Pesta Las Parrandas, Kuba
Pesta Las Parrandas telah menjadi acara tahunan di Kuba sejak tahun 1820. Menurut legenda, seorang imam di Remedios merasa putus asa karena sedikitnya jumlah umat yang hadir pada ibadah mingguan. Maka sebelum Natal, ia menyuruh anak-anak pergi ke luar dan membuat keributan dengan terompet, kaleng dan marakas.
Kegaduhan yang ditimbulkan itu akan membangunkan para warga dan menarik mereka ke gereja. Seiring berjalannya waktu, aktivitas ini berkembang menjadi pesta jalanan dan para warga saling berlomba.
Komunitas menghabiskan waktu berbulan-bulan merancang kendaraan hias dan kostum yang rumit untuk parade meriah ini.
Pelukis, tukang kayu, pematung, penjahit dan ahli listrik adalah beberapa seniman dan pengrajin yang berkolaborasi untuk menciptakan kemeriahan.
Selain pesta rakyat, ini juga merupakan kompetisi antar warga. Warga bekerja untuk mengalahkan satu sama lain dengan tampilan yang menakjubkan. Terdiri atas beragam usia, ras, kelas dan agama, semuanya terlibat dan berkolaborasi.
Baca Juga: Festival Obon, Ketika Warga Jepang Sambut Kedatangan Arwah Leluhur
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR