Sekoteng bagi orang Jawa merupakan singkatan ‘nyokot weteng’ yang berarti ‘menggigit perut’. Minuman ini bercita rasa hangat yang terbuat dari rebusan gula merah dan jahe. Isinya bertabur berbagai macam pernik, seperti kacang tanah sangrai, merah delima, irisan roti tawar. Kendati telah lekat di hati dan lidah, sejatinya minuman ini merupakan hidangan tradisi Cina.
Istilah “sekoteng” berasal dari bahasa Hokkian, su ko thung atau si guo tang yang bermakna sup empat buah-buahan. Di negeri asalnya, minuman ini terdiri atas empat buah yang dikeringkan: Kacang amandel, buah jail, biji teratai, dan kelengkeng. Bagi masyarakat Nusantara, su ko thung kemudian terdengar berbeda dan dilafalkan menjadi sekoteng. Namun, adaptasinya menjadi sangat berbeda lantaran diisi aneka pernik yang disesuaikan dengan buah atau bebijian yang tumbuh di Nusantara.
Menurut legenda, sekoteng telah dikonsumsi sejak masa Kaisar Qin Shi Huang (masa Dinasti Qin 221 SM – 206 SM). Dia merasa bahwa minuman tersebut membuat kesehatannya meningkat, pencernaan menjadi baik dan kehangatan tubuhnya terjaga. Di negeri asalnya, Sekoteng disajikan hangat pada musim dingin, namun disajikan dingin dengan menambahkan es batu pada musim panas.
Lain sekoteng, lain pula tentang asal usul soto. Hidangan soto identik dengan nama daerah tempat asalnya. Soto hadir dengan pelbagai cita rasa: Soto padang, soto banjar, soto betawi, soto ambengan, soto kudus, soto lamongan dan banyak lagi.
Kebanyakan kita menganggap soto merupakan kata asli bahasa Indonesia. Namun, seperti halnya sekoteng, nama “soto” berasal dari bahasa Hokkian juga, “saoto”. Hidangan ini menjadi bagian dari caotu tang atau sup babat—jeroan sapi. Dalam perjalanannya, saoto pun mengalami modifikasi sesuai dengan tempat di mana ia mengalami kreasi kokinya.
Ibarat adagium lawas: Cinta bermula lewat perut. Jalinan dua kebudayaan itu telah bertaut dalam ragam menu santapan. Masih banyak jenis penganan citarasa Cina yang telah menjadi bagian sehari-hari budaya santapan Nusantara. Cobalah kita sebut lontong cap go meh, pem-pek, bubur dengan aneka taburan pelengkap, tahu, kue lapis dari tepung hunkwee, siomay, dan banyak lagi lainnya. Khazanah sajian tersebut merupakan bentuk akulturasi dan adaptasi masyarakat Cina di perantauan yang telah mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR