Persiapan Matang
Setelah Pekanbaru berhasil merebut pasukan APRI pada 12 Maret 1958, keberhasial juga diperoleh lebih mudah ketika menduduki Medan. Pasukan yang semula diterjunkan di Pekanbaru, setelah alih kodal dengan pasukan darat, kemudian diterjunkan kembali di Medan. Perebutan Medan dilakukan dalam sebuah airbone operation skala kecil di Belawan pada 17 Maret yang melibatkan PGT dan RPKAD. Penerjunan dibarengi dengan pendaratan amfibi oleh KKO di pelabuhan Belawan disusul pendaratan pasukan AD dari Batalion 322. Operasi ini dirancang secara mendadal setelah laporan intelejen menyampaikan bahwa Medan diduduki oleh pasukan yang loyal kepada Mayor Boyke Mainggolan. Karena operasi dadakan ini, rencana Operasi 17 Agustus di Padang mengalami penundaan sesaat. Selesai menerjunkan pasukan, Sukardi dan 11 pesawat Dakota lainnya bermalam di Medan, bersiap untuk menyerang Padang.
Saat mendarat di Pekanbaru setelah melakukan air landed Batalion 423 pada sorti kedua, waktu kosong ini dimanfaatkan Sukardi dan kru lainnya untuk istirahat. Namun rasa ingin tahu untuk melihat paying-payung udara yang sebelumnya dipergunakan untuk menerjunkan senjata dan logistic oleh pihak asing untuk membantu pemberontak, membatalkan niat istirahatnya. Penerjunan ini diperkirakan dilaksanakan hanya beberaa jam sebelum operasi penerjunan paying APRI. Sukardi dan Djalaludin Tantu masih sempat melihat tumpukan senjata yang berhasil disita. “Dari Pak Wiriadinata saya mendapat pistol FN, dan Djalaludin senapan laras panjang,” kenang Sukardi.
Meski rencana merebut Padang terganggu, sebetulnya GKS semakin mendapat keuntungan dengan didudukinya Medan. Karena dengan demikian, komando operasi mendapat modal lapangan terbang lagi. Dengan demikian, operasi perebutan lapangan terbang Tabing pun menjadi semakin matang. APRI juga tahu bahwa Tabing dan Padang dikuasi dan dijagai oleh pasukan PRRO yang lebih kuat dan lebih banyak.
Dibanding Operasi Trikora, kenang Sukardi, operasi PRRI dan Permesta jauh lebih baik. Persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari. Sukardi yang masuk AURI tahun 1953, saat itu ditempatkan di DAUM (Dinas Angkutan Udara Militer) AURI yang berada di Bandung. Ada tiga unit yang disiapkan yaitu DAUM, Skadron 2 di Tjililitan (sekarang Halim), dan Wing UGaruda. Latihan dilaksanakan secara parsial, baik secara internal maupun menerjunkan pasukan.
Latihan terjun dilaksanakan di Margahayu dan Batujajar, yang menurut Sukardi saat itu masih dimiliki AURI. Sebagai pilot, latihan yang dilakukan sangat intensif. Salah satu materi yang dilakukan adalah latihan mendaratkan pesawat di landasan pendek, karena menurut laporan intelejen, landasan di Pekanbaru sangat pendek. Latihan dilaksanakan di Lanud Husein Sastranegara yang kala itu panjangnya tak lebih dari 1.200 meter.
Sedikit menjadi kendala adalah kesiapan jumlah penerbang di AURI. Soalnya tiga tahun sebelumnya (1955) telah terjadi gejolak internal di AURI yang dikenal sebagai “Sujono Affairs”, berbuntut keluarnya sejumlah penerbang dari AURI. Sujono Affairs diambil dari nama Kolonel Hubertus Sujono yang saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Bukitinggi, Desember 1948, diangkat menjadi KSAU Suryadarma kepada Belanda. Kepada Angkasa Sujono mengaku bahwa dia tidak pernah menyerahkan jabatan KSAU kepada Suryadarma. “Sampai detik ini pun saya masih KSAU, karena tidak ada serah terima jabatan, makanya saya kecewa,” tutut Sujono saat ditemui di kediamannya sekitar tahun 2000, didampingi sahabatnya Wiweko Soepono.
Meski para penerbang AURI ini sudah keluar dari tugas kemiliteran, jiwa raga mereka tetap cinta Republik. Tak heran ketika panggilan tugas untuk menumpas pemberontak PRRI datang ke Garuda, mereka berdiri di barisan terdepan. “Mereka tetap ikut meski sudah dengan baju Garuda,” jelas Sukardi tersenyum.
Kekurangan penerbang ini sebenarnya paling terasa dari kelompok kopilot. Ulah kekurangan itulah, tak jarang penerbangan dilakukan single pilot. Sukardi sendiri beberapa kali mengalaminya oada tahap persiapan operasi untuk menggeser logistic dari Jawa ke Tanjung Pinang. Selain harus terbang sendiri, kondisi ini juga mengganggu jadwal istirahat kru yang jadi semakin mepet. “Jadi persiapan kami saat itu luar biasa. Pesawat ok, kru ok, pasukan siap,” kata Sukardi.
Dalam taklimat terakhir sebelum pelaksanaan operasi, Sukardi mengetahui bahwa dalam formasi penerjunan, pesawatnya berada di posisi buncit yaitu pesawat ke-24. “Kami dibagi ke dalam delapan flight. Mungkin karena saya paling yunior maka ditaruh paling belakang, copilot saya Djalaludin Tantu, yunior satu angkatan di bawah saya,” beber Sukardi.
Rebut Padang
Untuk menyerang Padang, komando pusat jauh lebih siap karena sudah memiliki tiga lapangan terbang, yaitu Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan Medan. Sukardi pun sudah bersiap dengan kru dan pasukan yang akan diterjunkannya sebanyak 23 orang. Masa penantian ini digunakan untuk menyiapkan pesawat, termasuk mengisi bahan bajar yang dilakukan secara manual dengan pompa tangan. Dari Polonia, Medan, disiapkan 12 pesawat Dakota. Dari Pekanbaru enam Dakota, dan enam Dakota lagi dari Tanjung Pinang.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR