Sukardi tidak meutup-nutupi rasa kagumnya kepada pasukan paying yang diterjunkannya. “Setelah Pekanbaru diduduki dalam penerjunan, kami kembali ke Tanjung Pinang untuk mengambil pasukan guna melaksanakan air landed di Pekanbaru guna memperkuat pasukan terdahulu. Setelah selesai, PGT dan RPKAD itu kumpul lagi dengan kami untuk diterjunkan di Belawan, Medan. Di Medan kami bermalam. Kemudian mereka (pasukan paying) disiapkan kembali untuk merebut Padang. Itu semua adalah orang-orang yang sama, luar biasa,” beber Sukardi.
Menurut Sukardi, pada tahun-tahun itu PGT adalah pasukan paying terbesar dan terkuat yang dimiliki APRI. Karena memang baru PGT yang mampu menyiapkan pasukan payung dalam jumlah besar.
Untuk merebut Padang, komando pusat menyiapkan tiga fase operasi. Pertama, pendaratan amfibi di pantai Padang untuk mendapat beach head. Kedua, operasi lintas udara di lapangan terbang Tabing. Ketiga, perebutan wilayah yang dikuasai pasukan PRRI. Kapal perang ALRI akan memberikan tembakan penghancuran untuk mengamankan pantai pendaratan. Sementara pesawat Mustang dan Mitchell akan menyirami dan menghancurkan sistem pertahanan PRRI yang mungkin bisa membahayakan penerjunan.
Pukul 03.30 WIB, dini hari 17 April 1958, Mayor Udara Tjokrodiredjo sebagai leader, telah memimpin lepas landas 12 pesawat dari Pekanbaru. Seluruh flight yang bertolak dari tiga pangkalan berbeda dan dipimpin Mayor Omar Dahni sebagai main leader, harus berkumpul di satu koordinat yang jauhnya sekitar 10 menit sebelah barat dari dropping zone yaitu lapangan terbang Tabing. Sampai detik itu mereka sudah memperoleh informasi bahwa landasan Tabing dipasangi barikade beruba potongan bamboo dan paku untuk mengganggu penerjunan. “Saya dari Medan posisinya lebih enak karena dari utara dengan Matahari dari sisi kanan,” kenang Sukardi.
Penerbangan dari Medan ke Padang cukup melelahkan. Cuaca kurang bersahabat ditambah deretan Bukit Barisan yang cukup tinggi untuk pesawat sekelas Dakota. Karen itu formasi sedikit longgar untuk alasan keamanan. Di radio, sesekali terdengar koordinasi di antara flight leader agar rendezvous bisa dilakukan sesuai rencana.
Flight Medan sudah terbang satu setengah jam dan sudah lama meninggalkan Bukit Barisan. Mereka pun mulai mengurangi ketinggian. Di radio kembali terdengar bahwa flight dari Pekanbaru sudah bergabung dengan flight Tanjung Pinang. Dari kejauhan terlihat formasi memanjang Dakota, yang segera dikejar flight Medan untuk kemudian tergabung. Tak lama kemudian, cahaya terang mulai merambat dari ujung timur pertanda Matahari segera muncul. Mereka sudah on the track, Tabing sudah di depan mata.
Deretan panjang 24 Dakota melaju pelan namun pasti dari timur ke barat dengan ketinggian mulai rendah. Sambil menikmati indahnya Pantai Padang, Sukardi menyaksikan suasana dramatis di bawahnya yaitu puluhan kapal pendarat ALRI bergerak menuju pantai dalam kecepatan tinggi. Ia bisa melihat jelas prajurit KKo di dalamnya yang siap didaratkan di Pantai Merah. Pemandangan serupa kembali dilihatnya saat penerjunan pasukan PGT di Pantai Daruga, Morotai pada 20 Mei 1958 untuk mengejar Permesta. “Buih-buihnya memanjang di belakang, berkesan sekali dan begitu menggugah,” ujar Sukardi.
Sasaran penerjunan semakin jelas, karena lapangan terbang Tabing memang tidak jauh dari pantai. Sekali lagi Sukardi disuguhi drama udara luar biasa. Gabungan pesawat P-51 Mustang dan pembom B-25 Mitchell, bergantian menukik melepaskan tembakan senapan mesian dan roket disusul bom pada kubu-kubu pertahanan PRRI. Sebanyak 12 senapan mesing Browning M2 di hidung B-25, ikut memuntahkan timah panas di sekitar Padang. Sukardi merasa betul-betul tergetar menyaksikan semua itu, dari kokpit Dakota yang diterbangkannya.
Mereka pun tiba di titik penerjunan. Sebagai pesawat paling belakang, separasi ketinggian demi alasan keamanan membuat posisi pesawatnya menjadi lebih tinggi. Pernerjunan sudah berlangsung, paying-payung mengembang di udara. Tiba-tiba flight leader berteriak melalui radio, “Hati-hati, tembakan dari bawah gencar!” Penerjuanan pasukan mendapat perlawan gigih dari darat. Padahal Sukardi masih melihat Mustang menyambar-nyambar sambil melepaskan tembakan. Terbukti bahwa pertahanan PRRI di Padang jauh lebih kuat.
Seperti ditulis blogger Iwan Suwandy di kompasiana.com, sehak pagi pesawat melayang-layang di udara, penduduk Padang sangat gembira karena ada pengumuman di radio bahwa bantuan pesawat dari Armada Ketujuh Amerika Serikat yang sudah mangkal di perbatasan fekat kepulauan Riau untuk menyelamatkan lading minyal Caltex di Rumabi. Tetapi ternyata pesawat APRI untuk meilndungi pendaratan tentara payung di Tabing dan pendaratan Marinir dan Banteng Raiders di dekat lapangan terbang pada lokasi di muara Sungai Batang Kuranji. Tentara PRRI lari lewat selokan dan berusaha menembak pesawat dengan senjata modern hadiah dari luar negeri seperti Thompson, Bazooka, Jungle Rifle, dan mitraliur. Senjata tersebut didaratkan dari kapal selam menggunakan container pada Febuari 1958 di pantai Padang. Banyak rakyat yang menyaksikan termasuk penulis karena dekat dengan kediaman.
Meski mendapat serangan dari bawah, formasi penerjunan Dakota tak tergoyahkan. Setiap pesawat disiplin di posisi masing-masing untuk menyelesaikan penerjunan, di tengah desingan peluru. Setelah penerjunan selesai, semua pesawat kembali ke pangkalan masing-masing sesuai kelompoknya.
Sekitar pukul 08.40, 12 pesawat mendarat kembali di Medan dengan selamat. Seluruh awak berkumpul di apron dan saling bersalaman dan bergurau. Mereka saling bercerita atas kejadian yang baru saja mereka alami bersama. Mereka membicarakan tembakan gencar yang dilakukan pemberontak dari bawah. Setelah dilakukan pengecekan terhadap seluruh pesawat, ditemukan bahwa ada empat pesawat yang terkena tembakan. Ada yang terkena di bagian sayap, ekor, dan hidung. Bahkan ada yang nyasar di mesin salah satu C-47.
Siang itu juga lapangan terbang Tabing berhasil direbut dan diduduki pasukan APRI yang bertempur dengan jebat. Tidak hanya itu, Kota Padang juga berhasil diduduki. Rupanya pasukan KKo yang didaratkan dalam operasi amfibi, berhasil membuat tumpuan pantai hingga memudahkan pendaratan pasukan infanteri dari Batalion 438 dan 440 Kodam Diponegoro. Perebutan dipimpin langsung oleh Kolonel Achmad Yani. Dini hari esoknya, giliran pelabuhan Teluk Bayur dikuasai Diponegoro. Pada hari kedia operasi, lapangan terbang Tabing sudah bisa digunakan AURI.
Jatuhnya Sumatera ke tangan APRI, bukanlah akhir bagi Sukardi dan kawan-kawan beserta prajurit PGT. Tugas berikutnya sudah menanti, yaitu merebut wilayah Indonesia bagian Timur dari tangan Permesta. Khususnya wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Karena itu pasukan PGT yang sudah selesai merebut lapangan terbang di beberapa kota di umatera, segera dikembalikan ke induk pasukannya untuk kembali bersiap melaksanakan operasi di Timur.
Sukardi sendiri ditempatkan di Amahai dengan kopilot Captain Soedarsono dari Wing Garuda. Namun karena Permesta diperkuat pesawat tempur dan pembom, pesawat-pesawat AURI khususnya transport tidak bisa terbang leluasa di siang hari. Penerbangan pun dilaksanakan di malam hari. Pun saat memindahkan PGT dari Bandung ke Amahai, Sukardi tidak bisa langsung ke lokasi akan tetapi transit dulu di Kupang sambil menunggu sinyal aman dari komando. Pagi-pagi sekali sebelum Matahari terbit, ia sudah terbang lagi dengan tujuan Amahai.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR