Dari kokpit C-14, Letnan Udara Satu Sukardi melihat di kejauhan pemburu P-51 Mustang dan pembom B-25 Mitchell masih melepaskan tembakan ke bawah dengan manuver menakutkan. Sesaat lagi ke-24 Dakota akan menerjunkan ratusan pasukan payung APRI di Tabing, Padang.
Dibanding merebut Pekanbaru dan Medan, Operasi 17 Agustus untuk menduduki Kota Padang pada 17 Maret 1958, relative lebih mudaj dari sisi penerbangan. Karena pada saat menyerang Padang, AURI sudah mempunyai modal tiga lapangan terbang di Pulau Bintan (Kijang), Pekanbaru (Simpang Tiga), dan Medan (Polonia).
Operasi perebutan Padang bisa disebut sebagai klimaks dari tiga operasi yang disiapkan oleH GKS (Gabungan Kepala Staf) dalam menyudahi petualangan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera.
Seperti ditulis dengan sangat baik oleh Marsekal (Pur) Sukardi di bukunya, “Saatnya Berbagi Pengalaman dan Rasa” dan dikutip di tulisan ini, untuk merebut kembali secara militer seluruh wilayah di Sumatera Utara dan Tengah, telah disiapkan tiga operasi. Yaitu Operasi Tegas untuk menguasai kembali wilayah Riau, dipimpin oleh Letkol Inf Kaharuddin Nasution. Operasi Saptamarga untuk merebut Sumatera Timur dan Tapanuli, dipercayakan kepada Brigjen TNI Djatikusumo. Serta merebut Sumatera Barat, disiapkan Operasi 17 Agustus dengan komandan Kolonel Inf Achmad Yani. Sikap mendua Koleonel Barlian di Sumatera Selatan pun tidak dibiarkan berkembang lebih jauh, sehingga GKS mengirim Lerkol dr Ibnu Sutowo dan pasukannya lewat Operasi Sdar. Sikap simpati Barlian kepada PRRI pula yang menjadikan GKS membatalkan penggunaan lapangan terbang Palembang sebagai pangkalan aju.
Soal Kolonel Barlian, Sukardi tiba-tiba ingat kejadian beberapa rahun silam saat dia menjadi staf ahli Menkopolhukam Soesilo Soedirman. Ketika itu muncul aspirasi dari rakyat Palembang untuk mengubah nama bandara menjadi Bandara Barlian. Oleh menteri, hal ini didiskusikan dengan Sukardi, yang kemudian menjelaskan bahwa sikap simpati Barlian kepada PRRI meninggalkan catatan buruk dalam karier militernya. Sang menteri pun mengabaikan permintaan kelompok yang mengatasnamakan rakyat itu.
GKS memang memprioritaskan untuk merebut wilayah Riau secepatnya karena alasan strategis. Di antaranya karena di wilayah tersebut terdapat kilang minyak Caltex yang banyak memperkerjakan warga asing terutama dari Amerika Serikat. Walau di sisi lain, anehnya para petualang PRRI dan juga Permesta, mendapat dukungan secara diam-diam dari AS lewat badan intelejen CIA.
Operasi Tegas adalah operasi gabungan laut dan udara. Pasukan KKO (Korps Komando) AL dan Batalion 528 Brawijaya didaratkan dari Sungai Siak Indragiri, sementara PGT (Pasukan Geraj Tjepat) dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) diterjunkan dari udara. Namun karena ALRI butuh waktu untuk mencapai Pekanbaru karena harus menelusuri sungai, maka taka da pilihan operasi udara harus dilaksanakan segera. Karena operasi gabungan, Letkol Kaharudin dibantu oleh Letkol Udara Wiriadinata sebagai Wakil Komandan I dan Mayor KKO Indra Subagio sebagai Wakil Komandan II.
Diharapkan menjadi yang terdepan, tidak mudah bagi AURI untuk mewujudkannya. Pasalnya tak satupun lapangan terbang di Sumatera yang bisa digunakan karena sudah dikuasai oleh pihak PRRI. Hanya satu yang tersisa, yaitu lapangan terbang Kijang di Bintan yang biasa disebut Tanjung Pinang (sebenarnya ini nama kota di Bintan), sekitar 350 kilometer dari Pekanbaru. Sejatinya lapangan terbang ini memiliki sejumlah kelemahan seperti tidak tersedianya fasilitas pengisian bahan bakar. Panjang landasan hanya 1.000 meter dan terbuat dari campuran baru dan tanah yang dipadatkan. Taxiway juga tidak tersedia, tempat parker pesawat sangat terbatas. Penerangan landasan hanya mengandalkan obor-obor minyak tanah yang diistilahkan gooseneck.
Hanya itulah pilihan yang tersedia, padahal Dakota yang akan membawa pasukan paying tidak mampu terbang nonstop dari Jakarta ke Pekanbaru dan kembali lagi ke Jakarta. Legenda Perang Dunia II ini butuh stop over untuk refueling. Alhasil ketika sekitar 50 pesawat AURI dari berbagai jenis yang dilibatkan dalam Operasi mendarat di Kijang, suasananya tak ubahnya terminal bus bayangan. Pesawat di parkir di kiri dan kanan landasan pacu, sangat berdesak-desakan., wing to wing, pun tidak aman.
Peralatan komunikasi dan navigasi pangkalan hanya mengandalkan radio VHF/ UHF berkekuatan sedang. Itupun masih mengkhawatirkan karena pasokan listrik yang terbatas. Karena pancaran sinyal alat pemandu navigasi tidak terlalu besar, pesawat yang akan mendarat baru bisa menangkap sinyalnya sekitar 30 mil dari pangkalan.
Menurut catatan Sukardi, sistem pertahanan pangkalan juga setali tiga uang, sesuai kemampuan APRI kala itu. Begitu pula sistem radar, tidak ada sama sekali. Bagaimana mungkin sebuah pangkalan induk tidak dilindungi oleh radar atau sistem pertahanan udara.
Karena pertahanan pangkalan terhadap kemungkinan serangan udara lawan, jika ada, dilaksanakan oleh pesawat Mustang. Secara rutin pesawat pemburu ini melakukan patrol udara di sekitar lapanga terbang. “Kalaulah ada sabotase saat itu,, habislah sudah AURI,” kenang Sukardi kepada Angkasa di kediamannya di Jakarta Selatan.
Persiapan Matang
Setelah Pekanbaru berhasil merebut pasukan APRI pada 12 Maret 1958, keberhasial juga diperoleh lebih mudah ketika menduduki Medan. Pasukan yang semula diterjunkan di Pekanbaru, setelah alih kodal dengan pasukan darat, kemudian diterjunkan kembali di Medan. Perebutan Medan dilakukan dalam sebuah airbone operation skala kecil di Belawan pada 17 Maret yang melibatkan PGT dan RPKAD. Penerjunan dibarengi dengan pendaratan amfibi oleh KKO di pelabuhan Belawan disusul pendaratan pasukan AD dari Batalion 322. Operasi ini dirancang secara mendadal setelah laporan intelejen menyampaikan bahwa Medan diduduki oleh pasukan yang loyal kepada Mayor Boyke Mainggolan. Karena operasi dadakan ini, rencana Operasi 17 Agustus di Padang mengalami penundaan sesaat. Selesai menerjunkan pasukan, Sukardi dan 11 pesawat Dakota lainnya bermalam di Medan, bersiap untuk menyerang Padang.
Saat mendarat di Pekanbaru setelah melakukan air landed Batalion 423 pada sorti kedua, waktu kosong ini dimanfaatkan Sukardi dan kru lainnya untuk istirahat. Namun rasa ingin tahu untuk melihat paying-payung udara yang sebelumnya dipergunakan untuk menerjunkan senjata dan logistic oleh pihak asing untuk membantu pemberontak, membatalkan niat istirahatnya. Penerjunan ini diperkirakan dilaksanakan hanya beberaa jam sebelum operasi penerjunan paying APRI. Sukardi dan Djalaludin Tantu masih sempat melihat tumpukan senjata yang berhasil disita. “Dari Pak Wiriadinata saya mendapat pistol FN, dan Djalaludin senapan laras panjang,” kenang Sukardi.
Meski rencana merebut Padang terganggu, sebetulnya GKS semakin mendapat keuntungan dengan didudukinya Medan. Karena dengan demikian, komando operasi mendapat modal lapangan terbang lagi. Dengan demikian, operasi perebutan lapangan terbang Tabing pun menjadi semakin matang. APRI juga tahu bahwa Tabing dan Padang dikuasi dan dijagai oleh pasukan PRRO yang lebih kuat dan lebih banyak.
Dibanding Operasi Trikora, kenang Sukardi, operasi PRRI dan Permesta jauh lebih baik. Persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari. Sukardi yang masuk AURI tahun 1953, saat itu ditempatkan di DAUM (Dinas Angkutan Udara Militer) AURI yang berada di Bandung. Ada tiga unit yang disiapkan yaitu DAUM, Skadron 2 di Tjililitan (sekarang Halim), dan Wing UGaruda. Latihan dilaksanakan secara parsial, baik secara internal maupun menerjunkan pasukan.
Latihan terjun dilaksanakan di Margahayu dan Batujajar, yang menurut Sukardi saat itu masih dimiliki AURI. Sebagai pilot, latihan yang dilakukan sangat intensif. Salah satu materi yang dilakukan adalah latihan mendaratkan pesawat di landasan pendek, karena menurut laporan intelejen, landasan di Pekanbaru sangat pendek. Latihan dilaksanakan di Lanud Husein Sastranegara yang kala itu panjangnya tak lebih dari 1.200 meter.
Sedikit menjadi kendala adalah kesiapan jumlah penerbang di AURI. Soalnya tiga tahun sebelumnya (1955) telah terjadi gejolak internal di AURI yang dikenal sebagai “Sujono Affairs”, berbuntut keluarnya sejumlah penerbang dari AURI. Sujono Affairs diambil dari nama Kolonel Hubertus Sujono yang saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Bukitinggi, Desember 1948, diangkat menjadi KSAU Suryadarma kepada Belanda. Kepada Angkasa Sujono mengaku bahwa dia tidak pernah menyerahkan jabatan KSAU kepada Suryadarma. “Sampai detik ini pun saya masih KSAU, karena tidak ada serah terima jabatan, makanya saya kecewa,” tutut Sujono saat ditemui di kediamannya sekitar tahun 2000, didampingi sahabatnya Wiweko Soepono.
Meski para penerbang AURI ini sudah keluar dari tugas kemiliteran, jiwa raga mereka tetap cinta Republik. Tak heran ketika panggilan tugas untuk menumpas pemberontak PRRI datang ke Garuda, mereka berdiri di barisan terdepan. “Mereka tetap ikut meski sudah dengan baju Garuda,” jelas Sukardi tersenyum.
Kekurangan penerbang ini sebenarnya paling terasa dari kelompok kopilot. Ulah kekurangan itulah, tak jarang penerbangan dilakukan single pilot. Sukardi sendiri beberapa kali mengalaminya oada tahap persiapan operasi untuk menggeser logistic dari Jawa ke Tanjung Pinang. Selain harus terbang sendiri, kondisi ini juga mengganggu jadwal istirahat kru yang jadi semakin mepet. “Jadi persiapan kami saat itu luar biasa. Pesawat ok, kru ok, pasukan siap,” kata Sukardi.
Dalam taklimat terakhir sebelum pelaksanaan operasi, Sukardi mengetahui bahwa dalam formasi penerjunan, pesawatnya berada di posisi buncit yaitu pesawat ke-24. “Kami dibagi ke dalam delapan flight. Mungkin karena saya paling yunior maka ditaruh paling belakang, copilot saya Djalaludin Tantu, yunior satu angkatan di bawah saya,” beber Sukardi.
Rebut Padang
Untuk menyerang Padang, komando pusat jauh lebih siap karena sudah memiliki tiga lapangan terbang, yaitu Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan Medan. Sukardi pun sudah bersiap dengan kru dan pasukan yang akan diterjunkannya sebanyak 23 orang. Masa penantian ini digunakan untuk menyiapkan pesawat, termasuk mengisi bahan bajar yang dilakukan secara manual dengan pompa tangan. Dari Polonia, Medan, disiapkan 12 pesawat Dakota. Dari Pekanbaru enam Dakota, dan enam Dakota lagi dari Tanjung Pinang.
Sukardi tidak meutup-nutupi rasa kagumnya kepada pasukan paying yang diterjunkannya. “Setelah Pekanbaru diduduki dalam penerjunan, kami kembali ke Tanjung Pinang untuk mengambil pasukan guna melaksanakan air landed di Pekanbaru guna memperkuat pasukan terdahulu. Setelah selesai, PGT dan RPKAD itu kumpul lagi dengan kami untuk diterjunkan di Belawan, Medan. Di Medan kami bermalam. Kemudian mereka (pasukan paying) disiapkan kembali untuk merebut Padang. Itu semua adalah orang-orang yang sama, luar biasa,” beber Sukardi.
Menurut Sukardi, pada tahun-tahun itu PGT adalah pasukan paying terbesar dan terkuat yang dimiliki APRI. Karena memang baru PGT yang mampu menyiapkan pasukan payung dalam jumlah besar.
Untuk merebut Padang, komando pusat menyiapkan tiga fase operasi. Pertama, pendaratan amfibi di pantai Padang untuk mendapat beach head. Kedua, operasi lintas udara di lapangan terbang Tabing. Ketiga, perebutan wilayah yang dikuasai pasukan PRRI. Kapal perang ALRI akan memberikan tembakan penghancuran untuk mengamankan pantai pendaratan. Sementara pesawat Mustang dan Mitchell akan menyirami dan menghancurkan sistem pertahanan PRRI yang mungkin bisa membahayakan penerjunan.
Pukul 03.30 WIB, dini hari 17 April 1958, Mayor Udara Tjokrodiredjo sebagai leader, telah memimpin lepas landas 12 pesawat dari Pekanbaru. Seluruh flight yang bertolak dari tiga pangkalan berbeda dan dipimpin Mayor Omar Dahni sebagai main leader, harus berkumpul di satu koordinat yang jauhnya sekitar 10 menit sebelah barat dari dropping zone yaitu lapangan terbang Tabing. Sampai detik itu mereka sudah memperoleh informasi bahwa landasan Tabing dipasangi barikade beruba potongan bamboo dan paku untuk mengganggu penerjunan. “Saya dari Medan posisinya lebih enak karena dari utara dengan Matahari dari sisi kanan,” kenang Sukardi.
Penerbangan dari Medan ke Padang cukup melelahkan. Cuaca kurang bersahabat ditambah deretan Bukit Barisan yang cukup tinggi untuk pesawat sekelas Dakota. Karen itu formasi sedikit longgar untuk alasan keamanan. Di radio, sesekali terdengar koordinasi di antara flight leader agar rendezvous bisa dilakukan sesuai rencana.
Flight Medan sudah terbang satu setengah jam dan sudah lama meninggalkan Bukit Barisan. Mereka pun mulai mengurangi ketinggian. Di radio kembali terdengar bahwa flight dari Pekanbaru sudah bergabung dengan flight Tanjung Pinang. Dari kejauhan terlihat formasi memanjang Dakota, yang segera dikejar flight Medan untuk kemudian tergabung. Tak lama kemudian, cahaya terang mulai merambat dari ujung timur pertanda Matahari segera muncul. Mereka sudah on the track, Tabing sudah di depan mata.
Deretan panjang 24 Dakota melaju pelan namun pasti dari timur ke barat dengan ketinggian mulai rendah. Sambil menikmati indahnya Pantai Padang, Sukardi menyaksikan suasana dramatis di bawahnya yaitu puluhan kapal pendarat ALRI bergerak menuju pantai dalam kecepatan tinggi. Ia bisa melihat jelas prajurit KKo di dalamnya yang siap didaratkan di Pantai Merah. Pemandangan serupa kembali dilihatnya saat penerjunan pasukan PGT di Pantai Daruga, Morotai pada 20 Mei 1958 untuk mengejar Permesta. “Buih-buihnya memanjang di belakang, berkesan sekali dan begitu menggugah,” ujar Sukardi.
Sasaran penerjunan semakin jelas, karena lapangan terbang Tabing memang tidak jauh dari pantai. Sekali lagi Sukardi disuguhi drama udara luar biasa. Gabungan pesawat P-51 Mustang dan pembom B-25 Mitchell, bergantian menukik melepaskan tembakan senapan mesian dan roket disusul bom pada kubu-kubu pertahanan PRRI. Sebanyak 12 senapan mesing Browning M2 di hidung B-25, ikut memuntahkan timah panas di sekitar Padang. Sukardi merasa betul-betul tergetar menyaksikan semua itu, dari kokpit Dakota yang diterbangkannya.
Mereka pun tiba di titik penerjunan. Sebagai pesawat paling belakang, separasi ketinggian demi alasan keamanan membuat posisi pesawatnya menjadi lebih tinggi. Pernerjunan sudah berlangsung, paying-payung mengembang di udara. Tiba-tiba flight leader berteriak melalui radio, “Hati-hati, tembakan dari bawah gencar!” Penerjuanan pasukan mendapat perlawan gigih dari darat. Padahal Sukardi masih melihat Mustang menyambar-nyambar sambil melepaskan tembakan. Terbukti bahwa pertahanan PRRI di Padang jauh lebih kuat.
Seperti ditulis blogger Iwan Suwandy di kompasiana.com, sehak pagi pesawat melayang-layang di udara, penduduk Padang sangat gembira karena ada pengumuman di radio bahwa bantuan pesawat dari Armada Ketujuh Amerika Serikat yang sudah mangkal di perbatasan fekat kepulauan Riau untuk menyelamatkan lading minyal Caltex di Rumabi. Tetapi ternyata pesawat APRI untuk meilndungi pendaratan tentara payung di Tabing dan pendaratan Marinir dan Banteng Raiders di dekat lapangan terbang pada lokasi di muara Sungai Batang Kuranji. Tentara PRRI lari lewat selokan dan berusaha menembak pesawat dengan senjata modern hadiah dari luar negeri seperti Thompson, Bazooka, Jungle Rifle, dan mitraliur. Senjata tersebut didaratkan dari kapal selam menggunakan container pada Febuari 1958 di pantai Padang. Banyak rakyat yang menyaksikan termasuk penulis karena dekat dengan kediaman.
Meski mendapat serangan dari bawah, formasi penerjunan Dakota tak tergoyahkan. Setiap pesawat disiplin di posisi masing-masing untuk menyelesaikan penerjunan, di tengah desingan peluru. Setelah penerjunan selesai, semua pesawat kembali ke pangkalan masing-masing sesuai kelompoknya.
Sekitar pukul 08.40, 12 pesawat mendarat kembali di Medan dengan selamat. Seluruh awak berkumpul di apron dan saling bersalaman dan bergurau. Mereka saling bercerita atas kejadian yang baru saja mereka alami bersama. Mereka membicarakan tembakan gencar yang dilakukan pemberontak dari bawah. Setelah dilakukan pengecekan terhadap seluruh pesawat, ditemukan bahwa ada empat pesawat yang terkena tembakan. Ada yang terkena di bagian sayap, ekor, dan hidung. Bahkan ada yang nyasar di mesin salah satu C-47.
Siang itu juga lapangan terbang Tabing berhasil direbut dan diduduki pasukan APRI yang bertempur dengan jebat. Tidak hanya itu, Kota Padang juga berhasil diduduki. Rupanya pasukan KKo yang didaratkan dalam operasi amfibi, berhasil membuat tumpuan pantai hingga memudahkan pendaratan pasukan infanteri dari Batalion 438 dan 440 Kodam Diponegoro. Perebutan dipimpin langsung oleh Kolonel Achmad Yani. Dini hari esoknya, giliran pelabuhan Teluk Bayur dikuasai Diponegoro. Pada hari kedia operasi, lapangan terbang Tabing sudah bisa digunakan AURI.
Jatuhnya Sumatera ke tangan APRI, bukanlah akhir bagi Sukardi dan kawan-kawan beserta prajurit PGT. Tugas berikutnya sudah menanti, yaitu merebut wilayah Indonesia bagian Timur dari tangan Permesta. Khususnya wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Karena itu pasukan PGT yang sudah selesai merebut lapangan terbang di beberapa kota di umatera, segera dikembalikan ke induk pasukannya untuk kembali bersiap melaksanakan operasi di Timur.
Sukardi sendiri ditempatkan di Amahai dengan kopilot Captain Soedarsono dari Wing Garuda. Namun karena Permesta diperkuat pesawat tempur dan pembom, pesawat-pesawat AURI khususnya transport tidak bisa terbang leluasa di siang hari. Penerbangan pun dilaksanakan di malam hari. Pun saat memindahkan PGT dari Bandung ke Amahai, Sukardi tidak bisa langsung ke lokasi akan tetapi transit dulu di Kupang sambil menunggu sinyal aman dari komando. Pagi-pagi sekali sebelum Matahari terbit, ia sudah terbang lagi dengan tujuan Amahai.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR