Jenis raja-udang berukuran kecil yang hanya hidup di Pulau Sangihe dan Talaud resmi ditetapkan menjadi jenis burung baru dalam kajian mengenai jenis-jenis burung di Indonesia yang dikeluarkan oleh IUCN dan BirdLife International tahun 2014.
Menurut rilis pers yang diterima National Geographic Indonesia pada Jumat (12/9), kajian ini, yang dilakukan BirdLife International—organisasi konservasi alam yang memiliki 120 mitra di seluruh dunia, menambah kekayaan jenis burung di dunia menjadi 10.425 jenis (sepuluh persen lebih banyak).
Adanya penambahan 361 jenis burung bukan-petengger (non-passerine) yang kini diakui sebagai jenis baru. Beberapa jenis tersebut berasal dari Asia Tenggara termasuk Indonesia.
“Berdasar kajian ini di Indonesia terdapat penambahan setidaknya 48 jenis yang merupakan hasil pemisahan dari jenis yang sudah ada sebelumnya, serta satu penambahan dari temuan jenis baru,” ungkap Jihad, Bird Conservation Officer di Burung Indonesia, organisasi nirlaba yang merupakan mitra BirdLife International di Indonesia.
Salah satu jenis baru yang ditetapkan pada yaitu udang-merah sangihe atau Ceyx sangirensis. Burung endemik Pulau Sangihe, Sulawesi Utara ini semula dimasukkan dalam jenis udang-merah sulawesi Ceyx fallax. Sayangnya, berbeda dengan sepupunya di Sulawesi yang belum masuk kategori terancam, udang-merah sangihe saat ini terancam punah.
Catatan perjumpaan terakhir jenis ini adalah pada tahun 1997 dan sejak itu belum pernah ditemukan kembali. Survei Burung Indonesia di Pulau Sangihe pada 2004-2006 maupun pada 2009 tidak berhasil menjumpai jenis ini. Pengamatan singkat di Hutan Sahendaruman pada 2014 juga gagal menemukan udang-merah sangihe.
Berdasarkan fakta tersebut, pada kajian Daftar Merah 2014, burung yang menghuni hutan primer dataran rendah ini ditetapkan sebagai jenis Kritis. Artinya, jenis ini tinggal selangkah lagi menuju kepunahan jika tidak ada tindakan pelestarian secepatnya.
Di Sangihe, hutan primer dataran rendah sudah nyaris habis. Namun, diduga udang-merah sangihe masih bertahan di lembah-lembah berhutan yang tidak terjangkau meski dalam jumlah sangat kecil.
Karena itu hasil kajian yang diserahkan kepada IUCN ini memunculkan pentingnya pelestarian beberapa bird hotspot (daerah kaya jenis burung) yang kondisinya sudah terancam.
Sangihe merupakan daerah penting untuk endemisme dan keterancaman karena memiliki banyak jenis unik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia, serta jenis langka terancam punah. “Daerah-daerah semacam ini telah ditetapkan menjadi prioritas konservasi dunia, dan sangat memerlukan aksi konservasi secepatnya untuk melindungi habitat dan masa depan burung-burung kritis seperti udang-merah sangihe,” ujar Agus Budi Utomo, Direktur Burung Indonesia.
Pula Pulau Jawa
Di Jawa, jenis yang baru diakui seperti pelatuk punggung-emas Chrysocolaptes strictus (Rentan) dan raja-udang kalung-biru Alcedo euryzona (Kritis) menunjukkan bahwa pulau terpadat di dunia ini juga menjadi rumah bagi sejumlah jenis unik. Namun, padatnya populasi penduduk dan hilangnya habitat alami di pulau ini menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan jenis-jenis baru tersebut.
Raja-udang kalung-biru saat ini diakui sebagai jenis endemis Jawa. Sementara jenis serupa yang ada di Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan yang semula juga dimasukkan dalam jenis yang sama, kini diberi nama baru yaitu raja-udang peninsula Alcedo peninsulae.
“Daftar Merah ini tidak hanya penting untuk membantu mengidentifikasi jenis-jenis yang perlu upaya pemulihan, tetapi juga untuk memfokuskan rencana konservasi dengan mengidentifikasi lokasi-lokasi dan habitat kunci yang perlu dilestarikan, termasuk Daerah Penting bagi Burung dan Daerah Penting bagi Keragaman Hayati,” tutur Dr. Stuart Butchart, Kepala Bidang ilmu Pengetahuan BirdLife.
Daftar Merah yang terus terbarukan akan membantu dalam penetapan prioritas konservasi dan pendanaan di masa depan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR