Sepenggal kisah sejarah Perang Asia Timur Raya. Hiroo Onoda baru berusia 18 tahun ketika dia mendaftar di Infanteri Tentara Kekaisaran Jepang. Pada saat itu, dia hanyalah salah satu dari ribuan pemuda yang dikirim untuk berperang. Namun mengapa kisahnya begitu berkesan bagi rakyat Jepang?
Lahir pada 1922, Onoda tidak perlu menunggu lama untuk terpilih mengikuti pelatihan intelijen khusus. Ia pun mendalami soal perang gerilya, filsafat, sejarah, seni bela diri, propaganda, dan operasi rahasia.
Pada 1944, dengan pangkat perwira, Onoda dikirim ke Pulau Lubang, 150 kilometer barat daya Manila di Filipina. Ia ditugaskan untuk menghalau serangan musuh di pulau itu, termasuk menghancurkan landasan udara.
Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa
Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?
Pantang menyerah dan tidak boleh bunuh diri, perintah itu menjadi kekuatan pendorong Onoda. Pada 1945, ketika Jepang menyerah setelah serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Onoda mengira itu adalah tipu muslihat. Jadi dia terus hidup dengan aturan yang sama—tidak pernah menyerah.
Menggunakan pesawat, tentara Jepang menjatuhkan selebaran dari udara. Cara ini digunakan untuk mengumumkan tentang berakhirnya perang kepada tentara yang bersembunyi di hutan. Lagi-lagi Onoda tidak percaya dengan berita itu.
“Selebaran yang mereka jatuhkan penuh dengan kesalahan, jadi saya menilai itu adalah plot yang dibuat oleh Amerika,” katanya. Onoda yakin bahwa selebaran itu adalah propaganda sekutu yang bertujuan untuk menangkap tentara Jepang.
Bersama tiga prajurit lainnya, Onoda melanjutkan perang gerilya. Mereka bertahan hidup dari pisang dan kelapa serta mencuri beras dari petani setempat. Gerilyawan ini membunuh 30 penduduk pulau selama bertahun-tahun dan menghindari baku tembak polisi.
Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
Beberapa tentara lain yang tersisa ditembak polisi, membuat Onoda menjadi tentara Jepang terakhir di pulau itu. Setiap insiden semakin memperkuat keyakinan Onoda bahwa perang masih berlanjut.
Selama 29 tahun, Onoda tinggal di hutan. Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan tinggal di gua bawah tanah sambil mengumpulkan data intelijen tentang pergerakan musuh.
Onoda menunjukkan karakteristik yang membuatnya menjadi prajurit terbaik; bersembunyi, kemauan yang teguh, ketaatan, kesetiaan, dan pengorbanan. Keterampilan yang dipelajari di pelatihan awal terbukti sangat penting untuk kelangsungan hidupnya.
“Setiap perwira Jepang siap menghadapi kematian, tetapi sebagai perwira intelijen saya diperintahkan untuk melakukan perang gerilya dan tidak mati,” jelasnya kemudian.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR