Onoda secara resmi dinyatakan meninggal pada tahun 1959, tetapi seorang mahasiswa Jepang, Norio Suzuki, menolak untuk mempercayainya. Pada tahun 1974, 29 tahun setelah Perang Dunia II berakhir—ia berangkat untuk mencari tentara yang hilang itu. Hebatnya, dia berhasil melacak Onoda hanya empat hari setelah memulai pencariannya.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi keduanya untuk menjadi teman. Namun Onoda mengatakan kepada Suzuki bahwa ia hanya akan menyerah setelah menerima perintah resmi. Suzuki kembali ke Jepang dengan foto-foto untuk membuktikan pertemuan mereka. Foto-foto itu kemudian ditunjukkan kepada komandan Onoda yang masih hidup, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang telah lama mengakhiri perang.
Musim semi berikutnya, Suzuki kembali dengan Taniguchi, yang secara resmi membebaskan Onoda dari tugasnya. Hampir 30 tahun menanti, Onoda menangis dan akhirnya menyerah. Ia berjuang dengan pedang, senapan Arisaka tipe 99 yang berfungsi, 500 butir amunisi, beberapa granat tangan, dan belati. Belati itu diberikan oleh sang Ibu di tahun 1944 untuk bunuh diri jika ia tertangkap.
“Mungkin butuh tiga tahun, mungkin butuh lima tahun, tapi apa pun yang terjadi, kami akan kembali untukmu,” demikian janjinya kepada Mayor Yoshimi Taniguchi yang dipegangnya terus hingga saat akhir.
Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?
Ketika Onoda kembali ke Jepang pada tahun 1974 pada usia 52 tahun, dia masih mengenakan seragam kekaisaran lamanya. Dia diampuni oleh Presiden Filipina saat itu Marcos atas kejahatan yang dilakukan saat ia percaya perang belum berakhir. Keluarganya, yang mengira dia sudah mati, melihat Onoda untuk pertama kalinya sejak dia berusia 22 tahun. Saat ditanya apa yang ada dalam pikirannya selama 29 tahun di hutan, Onoda hanya menjawab, “tidak lain adalah menyelesaikan tugas saya.”
"Obsesi saya adalah menangkap sesuatu yang nyata," ujar Arthur Harari, sutradara film Onoda: 10,000 Nights in the Jungle dalam rilis Festival Film Cannes. "Film itu harus didasarkan pada kenyataan. Mayat ada di sana, tangan ada di sana, dan alam ada di sana. Ini tentang menangkap sesuatu. Kami menjadi terobsesi dengan keringat, kostum kotor, wujud elemen. Film ini mengambil dimensi yang lebih sensual daripada yang saya bayangkan; hujan harus benar-benar dirasakan oleh pemirsa. Di sini sekali lagi, kami dipandu oleh keseimbangan antara harmoni klasik dan aspek langsung dan mendalam, untuk menciptakan pengalaman ruang dan waktu tertentu."
Baca Juga: Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR