Nationalgeographic.co.id—Sebuah film produksi internasional tentang seorang tentara Jepang yang tinggal di hutan Filipina selama 29 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, telah ditayangkan perdana di Festival Film Cannes pada Juli silam.
Film ini menceritakan kisah nyata Hiroo Onoda, seorang letnan dua di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Onoda pernah dilatih sebagai perwira intelijen sebelum dikirim ke Pulau Lubang pada Desember 1944.
Onoda: 10,000 Nights in the Jungle, demikian judul film ini, akan dirilis di Jepang pada akhir 2021. Film ini disutradarai oleh Arthur Harari, nomine Un Certain Regard dalam Festival Film Cannes di Paris. Pemeran Onoda muda adalah Yuya Endo, sedangkan Onoda tua diperankan Kanji Tsuda. Kendati mendapat penghargaan dalam Festival Film Cannes di Prancis, diperkirakan tidak akan menarik minat sebanyak di luar negeri.
Sepenggal kisah sejarah Perang Asia Timur Raya. Hiroo Onoda baru berusia 18 tahun ketika dia mendaftar di Infanteri Tentara Kekaisaran Jepang. Pada saat itu, dia hanyalah salah satu dari ribuan pemuda yang dikirim untuk berperang. Namun mengapa kisahnya begitu berkesan bagi rakyat Jepang?
Lahir pada 1922, Onoda tidak perlu menunggu lama untuk terpilih mengikuti pelatihan intelijen khusus. Ia pun mendalami soal perang gerilya, filsafat, sejarah, seni bela diri, propaganda, dan operasi rahasia.
Pada 1944, dengan pangkat perwira, Onoda dikirim ke Pulau Lubang, 150 kilometer barat daya Manila di Filipina. Ia ditugaskan untuk menghalau serangan musuh di pulau itu, termasuk menghancurkan landasan udara.
Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa
Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?
Pantang menyerah dan tidak boleh bunuh diri, perintah itu menjadi kekuatan pendorong Onoda. Pada 1945, ketika Jepang menyerah setelah serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Onoda mengira itu adalah tipu muslihat. Jadi dia terus hidup dengan aturan yang sama—tidak pernah menyerah.
Menggunakan pesawat, tentara Jepang menjatuhkan selebaran dari udara. Cara ini digunakan untuk mengumumkan tentang berakhirnya perang kepada tentara yang bersembunyi di hutan. Lagi-lagi Onoda tidak percaya dengan berita itu.
“Selebaran yang mereka jatuhkan penuh dengan kesalahan, jadi saya menilai itu adalah plot yang dibuat oleh Amerika,” katanya. Onoda yakin bahwa selebaran itu adalah propaganda sekutu yang bertujuan untuk menangkap tentara Jepang.
Bersama tiga prajurit lainnya, Onoda melanjutkan perang gerilya. Mereka bertahan hidup dari pisang dan kelapa serta mencuri beras dari petani setempat. Gerilyawan ini membunuh 30 penduduk pulau selama bertahun-tahun dan menghindari baku tembak polisi.
Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
Beberapa tentara lain yang tersisa ditembak polisi, membuat Onoda menjadi tentara Jepang terakhir di pulau itu. Setiap insiden semakin memperkuat keyakinan Onoda bahwa perang masih berlanjut.
Selama 29 tahun, Onoda tinggal di hutan. Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan tinggal di gua bawah tanah sambil mengumpulkan data intelijen tentang pergerakan musuh.
Onoda menunjukkan karakteristik yang membuatnya menjadi prajurit terbaik; bersembunyi, kemauan yang teguh, ketaatan, kesetiaan, dan pengorbanan. Keterampilan yang dipelajari di pelatihan awal terbukti sangat penting untuk kelangsungan hidupnya.
“Setiap perwira Jepang siap menghadapi kematian, tetapi sebagai perwira intelijen saya diperintahkan untuk melakukan perang gerilya dan tidak mati,” jelasnya kemudian.
Onoda secara resmi dinyatakan meninggal pada tahun 1959, tetapi seorang mahasiswa Jepang, Norio Suzuki, menolak untuk mempercayainya. Pada tahun 1974, 29 tahun setelah Perang Dunia II berakhir—ia berangkat untuk mencari tentara yang hilang itu. Hebatnya, dia berhasil melacak Onoda hanya empat hari setelah memulai pencariannya.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi keduanya untuk menjadi teman. Namun Onoda mengatakan kepada Suzuki bahwa ia hanya akan menyerah setelah menerima perintah resmi. Suzuki kembali ke Jepang dengan foto-foto untuk membuktikan pertemuan mereka. Foto-foto itu kemudian ditunjukkan kepada komandan Onoda yang masih hidup, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang telah lama mengakhiri perang.
Musim semi berikutnya, Suzuki kembali dengan Taniguchi, yang secara resmi membebaskan Onoda dari tugasnya. Hampir 30 tahun menanti, Onoda menangis dan akhirnya menyerah. Ia berjuang dengan pedang, senapan Arisaka tipe 99 yang berfungsi, 500 butir amunisi, beberapa granat tangan, dan belati. Belati itu diberikan oleh sang Ibu di tahun 1944 untuk bunuh diri jika ia tertangkap.
“Mungkin butuh tiga tahun, mungkin butuh lima tahun, tapi apa pun yang terjadi, kami akan kembali untukmu,” demikian janjinya kepada Mayor Yoshimi Taniguchi yang dipegangnya terus hingga saat akhir.
Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?
Ketika Onoda kembali ke Jepang pada tahun 1974 pada usia 52 tahun, dia masih mengenakan seragam kekaisaran lamanya. Dia diampuni oleh Presiden Filipina saat itu Marcos atas kejahatan yang dilakukan saat ia percaya perang belum berakhir. Keluarganya, yang mengira dia sudah mati, melihat Onoda untuk pertama kalinya sejak dia berusia 22 tahun. Saat ditanya apa yang ada dalam pikirannya selama 29 tahun di hutan, Onoda hanya menjawab, “tidak lain adalah menyelesaikan tugas saya.”
"Obsesi saya adalah menangkap sesuatu yang nyata," ujar Arthur Harari, sutradara film Onoda: 10,000 Nights in the Jungle dalam rilis Festival Film Cannes. "Film itu harus didasarkan pada kenyataan. Mayat ada di sana, tangan ada di sana, dan alam ada di sana. Ini tentang menangkap sesuatu. Kami menjadi terobsesi dengan keringat, kostum kotor, wujud elemen. Film ini mengambil dimensi yang lebih sensual daripada yang saya bayangkan; hujan harus benar-benar dirasakan oleh pemirsa. Di sini sekali lagi, kami dipandu oleh keseimbangan antara harmoni klasik dan aspek langsung dan mendalam, untuk menciptakan pengalaman ruang dan waktu tertentu."
Baca Juga: Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR