Nationalgeographic.co.id—"Jauh sebelum bermain dalam film Terang Boelan yang booming di Hindia-Belanda, Roekiah telah sohor sejak usia tujuh tahun lewat dunia tarik suara dan pemain sandiwara sekitar tahun 1924," tulis Christopher Allen Woodrich.
Woodrich menuliskan dalam International Journal of Humanity Studies, berjudul Negotiating The Path of Fame: Tradition and Public Modernity In The Public Persona of Roekiah (1917-1945), terbit 2017.
"Roekiah lahir pada 1917 di Bandung, hasil dari pernikahan dua etnis, dimana ayahnya, Mohammad Ali berasal dari Belitung, dan ibunya, Ningsih dari etnis Sunda," tulisnya.
Namun Ekky Imanjaya memberikan informasi yang berbeda terkait tahun dan kota kelahiran pesohor itu. Roekiah lahir di Cirebon, demikian menurut Ekky dalam bukunya berjudul A to Z About Indonesian Film, terbitan 2006. "Roekiah lahir dalam perjalanan tur sandiwara di Cirebon pada 1916 dari ibu seorang Sunda dan ayah Belitung," tulis Ekky. "Roekiah besar dalam pengembangan opera bangsawan, hingga tidak mengecap pendidikan."
Dia menambahkan, "Tulisan-tulisan mengenai Roekiah yang diterbitkan setelah kematiannya (1945), sering kali menyebutkan bahwa ia adalah idola dalam industri perfilman Indonesia."
Kedua orang tuanya mewariskan darah seni kepada Roekiah. Mereka merupakan aktor dan aktris dalam Opera Poesi Indra Bangsawan. Bagaimana tidak, Roekiah telah menekuni dunia hiburan dalam usia yang sangat muda. "Ia berkeliling Jawa bersama orang tuanya, pergi dari grup ke grup dan venue ke venue," tambahnya. Menggambarkan sosok Roekiah yang tak mengenyam pendidikan formal seperti anak seusianya karena kesibukannya.
Sejak 1924, ia telah diizinkan oleh Ningsih (ibunya), untuk melakukan konser tunggal. Tak diduga-duga, Roekiah naik ke atas panggung dan mulai bernyanyi. Mewarisi bakat vokal sang ibu, Roekiah mendapat apresiasi besar dari penonton.
"Roekiah sejatinya memiliki cita-cita besar untuk menjadi aktris, namun tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya," lanjutnya. Ia akhirnya menolak makan sampai orang tuanya mengalah dan memberi restu kepada Roekiah, untuk memulai karirnya sebagai aktris.
Pada 1932, ia bergabung dengan Opera Palestina di Batavia, di sana ia bertemu dengan pria yang kelak menjadi suaminya, Kartolo, seorang priyayi Jawa yang menulis dan memainkan musik untuk grup operanya. Mereka menikah saat Roekiah berusia 15 tahun.
Baca Juga: Dari Gagasan Film Indonesia Pertama Sampai Nasionalisme Kemenyan
Karir Roekiah dan suaminya melejit, membuatnya sohor hingga ke luar negeri. Mereka tampil bersama Opera Farokah di Singapura, sebelum akhirnya kembali ke Hindia-Belanda pada 1936, untuk fokus dalam mengurus dua buah hatinya.
Roekiah dan Kartolo akhirnya memutuskan kembali ke dunia hiburan. Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat (ANIF) sedang melakukan casting untuk film Terang Boelan, yang akan disutradarai oleh Albert Balink dan direkam oleh Joshua dan Othniel Wong.
"Roekiah tampil sebagai pemeran utama wanita, memerankan Rohaya, sementara Kartolo mendapat peran pendukung sebagai Dullah," lanjut Woodrich. Keduanya menjadi bagian dari produksi film di era Hindia-Belanda.
"Film ini meraih kesuksesan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Terang Boelan mencatatkan rekor sebagai film box office di Hindia-Belanda, yang sulit dipecahkan dalam industri film dalam negeri, sampai Krisis pada tahun 1953," tulis Anwar Rosihan dalam bukunya berjudul Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, terbitan tahun 2004.
Lepas dari film Terang Boelan, Roekiah bersama Kartolo kembali mendapat tawaran untuk bermain dalam film baru berjudul Fatima yang diorbitkan pada tahun 1938. Film garapan Tan's Studio ini kembali melibatkan Roekiah sebagai pemeran wanita utama, bersama Rd Mochtar yang digambarkan sebagai kekasihnya di film tersebut.
Meski tak dapat mengalahkan kesuksesan Terang Boelan, Fatima juga mengundang banyak antusias penonton kala itu. "Roekiah mendapat f.150 (gulden) sebulan, dan Kartolo mendapat f.50 dari Tan's Studio, harga yang fantastis untuk pribumi di masanya," tambah Anwar.
"Pada puncak popularitasnya, para penggemar meniru busana yang dikenakan oleh Roekiah dalam film-filmnya. Ia menjadi kiblat fesyen untuk wanita pribumi di seluruh Hindia-Belanda kala itu," tulisnya.
"Memiliki paras cantik, Roekiah mulai muncul secara rutin dalam berbagai iklan baik yang diproduksi pribumi maupun orang-orang Belanda," lanjutnya. Suara indahnya juga menghiasi sejumlah rekaman yang hadir di pasaran.
Baca Juga: Pengalaman Bung Karno Nonton Film Kelas Kambing Sampai Film Gedongan
"Pada wawancara tahun 1996, salah seorang penggemar mengungkapkan bahwa Roekiah adalah 'idola setiap pria'," tulis Woodrich. Sedangkan penggemar lainnya, menyebut Roekiah sebagai Dorothy Lamour-nya (aktris sohor dari Hollywood di Hindia Belanda) Indonesia.
"Roekiah selalu membuat penonton terlena di bangkunya saat ia mengalunkan lagu keroncong. Ia selalu mendapatkan tepuk tangan, sebelum atau sesudah bernyanyi. Bukan hanya kalangan pribumi. Banyak Belanda yang rajin menonton pertunjukan Roekiah!" dilansir dari Berita Buana Minggu yang terbit sekitar 1966.
Film-film Hindia Belanda direkam dalam bentuk film nitrat yang mudah terbakar. Nahas, setelah terjadi kebakaran, sebagian gudang Produksi Film Negara musnah pada tahun 1952, film-film lama yang direkam dalam bentuk nitrat juga ikut musnah.
Baca Juga: Melihat Produksi Loetoeng Kasaroeng, Film Bisu Pertama Indonesia
Roekiah wafat karena sakit pada tanggal 2 September 1945. Kematiannya juga bertepatan pada hari penyerahan Jepang yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II dan pendudukannya di Indonesia.
Roekiah dimakamkan di Kober Hulu, Jatinegara, Jakarta. Pemakamannya dihadiri oleh banyak elemen penting kenegaraan, mulai dari para artis hingga menteri Pendidikan saat itu, Ki Hajar Dewantara.
"Tulisan-tulisan mengenai Roekiah yang diterbitkan setelah kematiannya (1945), sering kali menyebutkan bahwa ia adalah idola dalam industri perfilman Indonesia," tulis Ekky Imanjaya. Ia menulis dalam bukunya berjudul A to Z About Indonesian Film, terbitan tahun 2006.
"Roekiah adalah ikon kecantikan pertama dalam industri perfilman Indonesia. Ia juga menyebut Roekiah dan Rd Mochtar sebagai selebriti yang memperkenalkan konsep 'bintang pelaris' pada perfilman dalam negeri," tambahnya.
"Bakatnya dalam dunia perfilman, merupakan bakat alami yang merupakan perpaduan pribadinya dengan pancaran kelembutan keayuan wajahnya yang penuh romantik," pungkasnya.
Source | : | International Journal of Humanity Studies |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR