Menurut penuturan Mia Adiyati, 35 tahun, pemilik Kedai Rakjat Djelata, kedainya menyediakan beberapa menu tradisional serta resep-resep baheula ala abdi dalem yang saat ini sudah langka.
Di masa silam, konon resep-resep tersebut menjadi menu sehari-hari raja dan para abdi dalem di Keraton Yogyakarta.
Contohnya, manuk londho, yang menjadi makanan pembuka bagi raja-raja Jawa dulu. Penganan ini sejatinya adalah puding kukus gabungan dari tape singkong, telur, santan, dan susu. Supaya rasanya lebih gurih, biasanya ditambahkan keju londo (keju Belanda) yang dimasak dalam periuk berbahan tanah liat. Manuk londho, konon biasa dihidangkan dengan mentho kasunan yang dianggap sebagai nenek moyangnya lemper.
Ada juga cumi ireng mbah blirik dan kresa nyambleng. Kalau yang ini, makanan khas rakyat jelata tempo dulu. Cumi ireng mbah blirik sangat unik, karena dimasak lengkap dengan tintanya. Cara memasak seperti ini mirip dengan beberapa menu masakan cumi di pesisir utara Pulau Jawa.
Rupanya, resep ini ada sejarahnya. Konon, Mbah Blirik buru-buru saat akan memasak sehingga cumi-cumi yang dicucinya kurang bersih. Sang Suami yang sempat mengetahui hal itu awalnya ogah-ogahan mencicipi. Tapi belakangan dia malah suka dan menikmatinya. Kuahnya justru semakin gurih, sedap, dan rasanya cukup nikmat – karena sentuhan tinta si cumi-cumi tadi.
Ada juga kresa nyamleng yang awalnya adalah makanan rakyat jelata tapi lama-kelamaan menjadi makanan favorit keluarga ningrat di keraton. Dari cerita Mia, menu ini sangat sederhana: ikan asin yang dilabur rempah-rempah, ditambah cabai dan kuah santan. Kresa nyamleng sendiri berarti “rasa kesukaan yang mantap”.
Resep-resep baheula ala abdi dalem yang dihidangkan Kedai Rakjat Djelata memang sudah jarang ditemukan. Apalagi belakangan kepedulian generasi muda terhadap kekayaan kuliner asli Nusantara itu semakin menis. “Ironis jika justru orang-orang asing yang mengenal menu-menu tersebut, tapi kita tidak,” ujar Mia sembari menunjukkan beberapa nama penulis luar yang menulis tentang resep-resep Nusantara.
Lebih jauh lagi, Mia ingin menjadikan Kedai Rakjat Djelata sebagai museum kuliner. Sejak awal, Mia menyebut kedai ini perwujudan dari kegelisahannya melihat orang-orang di sekelilingnya tidak lagi mengenal menu-menu tradisional khas Keraton. Jika pun ada, hanya kalangan tertentu saja. Oleh sebab itu, dimulai dengan kedai ini, Mia berharap suatu saat bisa membuat museum kuliner yang dicita-citakannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR