Perjalanan ziarah ini membuka mata saya lebar-lebar akan ancaman perubahan iklim. Azwardin menceritakan bagaimana overfishing mencelakai nelayan-nelayan lokal.
“Pencurian ikan terus terjadi di wilayah Kepulauan Banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Overfishing mengancam kemampuan laut dalam memproduksi hasil laut. Nelayan kecil harus mencari sumber pendapatan lain. Hasil laut adalah satu-satunya sumber yang mereka pahami,” jelasnya.
Saya bertemu Salman di Pulau Teluk Nibung di sebuah pondok menjorok ke laut.Lantainya dari kayu. Atap sengnya sudah banyak yang bocor. Pulau Teluk Nibung hanya sejam perjalanan laut dari Pulau Balai.
Tungku berapi dari kayu bakar sudah dinyalakan Salman sejak pagi. Di atasnya, Salman menaruh drum dari logam yang selalu mendidihkan air. Bau amis menguar ketika dia mulai mengaduk drum itu. Dia mengolah teripang. “Harga lumayan bagus. Per kilonya beragam. Ada yang bisa dijual 50 hingga 300 ribu rupiah,” kata pria 42 tahun ini.
Sambil menunggu, Salman membeli teripang yang dibawa nelayan ke pondoknya.Tawar-menawar harga terjadi. Dia mengeluarkan uang 100 ribu rupiah, membayarkan kepada nelayan yang membawa teripang itu.
Salman memasukkan teripang segar itu kedalam kotak kedap yang sudah diisi es untuk mengawetkan. Dia membuka kotak itu, lagi-lagi bau amis menguar lebih kencang. Beberapa orang yang ada di sekelilingnya membuang ludah.
Teripang, menurutnya, dijual dalam bentuk setengah matang. Setelah direbus selama tiga jam, teripang kemudian diasapi hingga bau amisnya hilang.
“Tidak semua teripang dapat masuk ke drum perebusan, harus disimpan dulu. Kalau sudah mengkerut setelah direbus dan diasapi, teripang dari dalam kotak ini baru dapat diolah.
Jenis-jenis teripang yang diolah di antaranya teripang gajah, teripang kucing, teripang gonjong, teripang bakau, teripang babi, teripang subadak, teripang asan asan dan teripang bintang,” jelasnya.
Teripang gajah, lanjut Salman, merupakan jenis yang paling banyak di cari karena harganya mahal. Salman mengumpulkan jenis ini dari para pencari teripang di sekitar Pulau Teluk Nibung.
“Ada juga yang singgah ke sini setelah mendapat teripang dari beberapa pulau lainnya. Pulau-pulau di sini banyak menyimpan kekayaan laut,” imbuhnya.
Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Abulyatama (UNAYA) Aceh, Elfa Yeni, mengatakan teripang merupakan istilah untuk hewan tanpa tulang belakang yang dapat dimakan.
Teripang, lanjut Elfa, merupakan bagian dari keluarga timun laut.
Menurutnya, Kepulauan banyak merupakan habitat yang baik untuk teripang. Hewan jenis ini dapat berkembang pada dasar laut berpasir, lumpur ataupun dalam lingkungan terumbu karang.
“Wilayah Kepulauan Banyak merupakan wilayah penting dalam perkembangan biota laut seperti ini. Teripang memakan limbah buangan dari jenis hewan lain, dengan demikian perannya sangat penting dalam ekosistem. Namun harus hati-hati, eksploitasi laut secara berlebihan akan mengancam jenis ini,” papar Elfa.
Sayangnya, lanjut Elfa, belum ada teknologi budidaya teripang di Pulau Banyak. Padahal teknologi ini mudah dan murah. Walaupun ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya kondisi perairan yang bersih, sehat dan terlindung dari arus atau gelombang laut.
Menjelang siang, cuaca berubah tiba-tiba, hujan dan angin kencang kembali datang, kami harus segera meninggalkan Salman dan rebusan teripangnya. Dalam perjalanan, kami harus menepi di keramba apung milik Diki. Gelombang laut memaksa kami untuk berhenti.
Diki sedang membilas ikan-ikan karang dari jenis kerapu dengan sejenis bahan kimia anti jamur berwarna biru.
Kami menghabiskan waktu sore itu bersama Diki dan tim saya yang ikut dalam perjalanan itu. Diki bercerita tentang keramba yang menjadi salah satu mata pencarian utama masyarakat di Pulau Banyak. Dia beranggapan, keramba sudah menjadi salah satu mata rantai ekonomi yang penting.
“Setiap keluarga, pada umumnya memiliki keramba.Terlepas dari ukuran besar atau kecilnya,” kata Diki.
Selain itu, katanya, masyarakat juga hidup dari hasil tangkapan langsung di laut.Ada juga yang mulai mencoba membudidayakan rumput laut. Walaupun pariwisata belum menjadi andalan utama Kepulauan Banyak, tapi ada juga sebagian yang bekerja di sektor ini.Sisanya, banyak yang mengandalkan hasil bumi seperti kelapa dan sektor perdagangan.
Menurut Elfa, Kepulauan Banyak berpotensi dikembangkan menjadi sentra perikanan laut. Mengingat posisinya yang sangat strategis bagi perkembang biakan ikan, sekaligus sebagai perlintasan ikan-ikan dari utara ke selatan ataupun sebaliknya di pantai barat Sumatra. Namun, katanya, pemerintah dan masyarakat harus memberikan perhatian serius atas keselamatan wilayah laut.Penangkapan ikan illegal harus ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku.Indonesia sudah memiliki kebijakan tentang hal itu.
“Ekosistem di Kepulauan banyak tentu memiliki hubungan dengan ekosistem laut di wilayah lain. Migrasi ikan, arus air laut, angin dan lainnya merupakan faktor penguhubung satu dengan lainnya. Pemerintah juga perlu memperhatikan dan menindak over fishing, penagkapan ikan tak terkendali,” paparnya.
Overfishing, lanjut Elfa, sudah menjadi masalah yang mendunia. Bahkan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2002 sudah merilis data 75% dari perikanan laut dunia mengalami overfishing.
Apa yang dilakukan Salman, Diki dan penduduk lainnya merupakan salah satu upaya memperlambat laju overfishing. Tapi itu saja tidak cukup, Elfa menyarankan agar pemerintah meningkatkan upaya pengamanan kawasan laut sembari membangun sentra produksi perikanan masyarakat.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR