Nationalgeographic.co.id—Orang-orang Mentawai akan dapat berkomunikasi dengan caranya tersendiri, khususnya memberikan pesan-pesan yang dimengerti pendengarnya, melalui musik Tuddukat.
"Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat adalah musik-musik tradisional," tulis Ruth Meliani Tatubeket bersama tim. Tatubeket menulisnya dalam Jurnal Sosiologi Agama.
Jurnalnya yang berjudul Peran Musik Tuddukat dalam Ritual Arat Sabulungan di Kabupaten Mentawai, dipublikasi tahun 2019. Ia menjelaskan tentang Tuddukat sebagai alat komunikasi tradisional yang efektif dalam masyarakat Mentawai.
Tuddukat merupakan alat komunikasi tradisional Mentawai yang bentuknya mirip seperti kentongan besar terbuat dari bahan dasar kayu hutan. "Cara menggunakannya dengan menggunakan pemukul yang disebut tektektek sehingga menghasilkan bunyi," tulisnya.
Tuddukat umumnya dibuat dari kayu kulip, meski bisa juga dibuat dari kayu babaet atau kayu ribbu’. Samuel Vito dan beberapa rekannya, menulis pada laman resmi Universitas Atmajaya. Artikelnya berjudul Tuddukat, Penyampai Pesan Orang Mentawai, publish pada tahun 2018.
"Proses pembuatan Tuddukat cukup rumit, dibutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam mengerjakannya, terlebih untuk melubangi batang kayu agar bisa menghasilkan bunyi yang dapat didengar dari jarak yang jauh," tulis Vito.
Tidak sembarangan, pembuatannya memakan waktu yang lama. "Jika dilakukan secara rutin maka pembuatan Tuddukat ini umumnya bisa memakan waktu selama lebih kurang 2 bulan," tambahnya.
"Pembuatan Tuddukat biasanya tidak berselan lama dengan pembuatan uma (rumah tradisional suku Mentawai)," imbuhnya. Bahkan, pembuatannya berbarengan dengan pembuatan uma, karena Tuddukat merupakan salah satu komponen penting yang harus ada dalam uma.
"Tuddukat menjadi salah satu benda yang memiliki nilai kesakralan dalam uma. Oleh karena itu, penggunaannya tidak boleh sembarangan," lanjutnya. Tuddukat hanya diperbolehkan dibunyikan pada saaat kematian (loiba’) dan mendapat hasil buruan.
Baca Juga: Harus Menahan Sakit, Inilah Tradisi Kerik Gigi Bagi Wanita Mentawai
Orang yang diperbolehkan memainkan Tuddukat, harus orang yang mengerti dengan benar agar tidak salah dalam menyampaikan pesan. "Setiap kata yang akan disampaikan, dieja persuku kata, tetapi hanya huruf vokal tiap suku kata yang akan dibunyikan," ungkap Prier.
Karl-Edmund Prier menyampaikannya dalam webinar bertajuk Membaca Musik Nusantara. Ia menjelaskan tentang risetnya terhadap musik Mentawai. Webinar tersebut diselenggarakan oleh HMJ Etnomusikologi ISI Yogyakarta pada 26 Oktober 2021 lalu.
"Setiap suku atau uma harus memiliki Tuddukat, sebab Tuddukat tidak dapat dipinjamkan kepada suku atau uma lain" ungkap Prier yang akrab dengan panggilan Rama Prier.
Tuddukat menjadi lambang kebanggaan dan kehormatan yang disakralkan dalam uma. "Bunyinya dapat menyampaikan berita atau pesan tentang kehebatan anggota uma dalam berburu," ujarnya.
Prier berkisah, bahwa dahulu, setiap uma menempati kawasan atau wilayah pemukiman dan perladangan yang cukup luas dengan jarak antar uma yang saling berjauhan.
Baca Juga: Singkap Musik Beghu yang Sakral dan Tersembunyi di Pedalaman Flores
"Sudah menjadi adat-istiadat, apabila mendapatkan hasil buruan atau adanya peristiwa kematian, maka seluruh anggota harus berkumpul di umanya. Dengan adanya Tuddukat, maka penyampaian pesan atau berita menjadi lebih mudah," jelasnya.
Bunyi Tuddukat bisa terdengar hingga beberapa kilometer jaraknya. "Saat Tuddukat dimainkan, tidak hanya lokasi satu atau dua uma saja yang bisa mendengar, tetapi uma hingga suku lain juga bisa mendengarnya," terang Prier.
"Saat nadanya menunjukan hasil tangkapan atau berhasil berburu, akan jadi salah satu bentuk kebanggan atau sesuatu yang bisa meningkatkan harkat dan martabat bagi orang Mentawai," pungkasnya.
Source | : | Jurnal Sosiologi Agama,atmajaya.ac.id |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR