“Dia benar.” Prowisor mengangguk. Dia menambahkan: “Kaum muda di kedua pihak lebih keras daripada kami yang lebih tua. Saya sangat konservatif. Tetapi anak-anak saya lebih keras lagi. Mereka sudah muak, dan mereka bicara soal jangan menahan diri dalam membalas teroris. Mereka tidak punya kenangan.”
Prowisor menggambarkan bahwa semasa mudanya dia bergerak bebas di tengah orang Palestina. Keadaan saat itu lebih longgar. Dia bepergian di Tepi Berat naik bus Palestina. Dia makan di warung hummus di Hebron. Inilah bayangan nostalgia. Saat mengarahkan operasi terhadap militan Palestina pun—Prowisor pernah perpartisipasi dalam beberapa peristiwa baku tembak di Tepi Barat—dia berkata dia mencoba bernegosiasi diam-diam di samping, dalam pertemuan rahasia di kebun zaitun, dengan lawannya. Anak-anaknya yang dewasa, dua di antaranya menjadi tentara Israel, tidak mungkin melakukan itu.
“Mereka tidak merasa ada pertalian sama sekali dengan orang Palestina,” katanya. “Mereka tidak pernah mendapat kesempatan untuk itu. Mereka belum pernah berurusan dengan orang Palestina di luar konflik.”
(Setelah pertemuan ini, para ekstremis di kedua pihak akan memicu perang di Gaza. Tiga remaja pemukim Israel akan diculik dan dibunuh di Tepi Barat; seorang remaja Palestina juga akan diculik dan dibakar hidup-hidup oleh orang Israel—termasuk dua remaja—sebagai balas dendam.)
Anak Daraghmeh mengantarkan teh ke punjung. Wajahnya yang belia mengerucutkan bibir dengan benci, dengan kemarahan murni. Kami berkendara meninggalkan pertanian itu. Saya melihat Daraghmeh berdiri di pinggir jalan. Lelaki bermata merah yang tampak seperti belum tidur bertahun-tahun.
Saya menginap di kamar kosong milik anak Prowisor yang tentara. Di dindingnya terdapat poster tim football Philadelphia Eagles. Rumah ini tidak ada bedanya dengan rumah pinggir kota di Amerika Serikat. Anggota keluarga Prowisor santai dan ramah. Istri Prowisor, Suri, pandai menenun: Dia membuat ambin bayi Yahudi tradisional dari katun. Di luar, di pemukiman Shilo, yang dikelilingi rintangan pelindung yang menerupai penjara kecil, terdapat sinagoga, sekolah, museum. (Pemukiman itu didirikan oleh orang Israel Mesianik yang berpura-pura menjadi peneliti lapangan arkeologi.) Seorang lelaki berjualan keju mewah dari warung di luar toserba. Prowisor menunjukkan lukisan minyaknya. Dulu dia menyewa studio di Kota New York.
“Saya punya cita-cita,” katanya. “Saya bercita-cita meninggalkan segala stres ini dan melukis saja di Alaska.”
Tetapi, Marc Prowisor mungkin tidak akan pernah melihat karibu dan beruang. Tidak akan pernah melukis di bawah aurora yang berkeretak. Saya ragu dia akan pernah meninggalkan Tepi Barat demi tundra beku.
“Jadi, seperti apa di sana?” tanya pemandu jalan Palestina saya, Bassam Almohor, beberapa hari kemudian. Dia benar-benar ingin tahu.
Saya dan Bassam berjalan kaki ke utara bersama-sama—menuju kota khafilah tua bernama Nablus. Prowisor sempat mengusahakan izin bagi Bassam untuk mengunjungi Shilo. Dia sudah minta maaf karena tidak berhasil memperolehnya.
Saya bercerita sebisanya kepada Bassam: tentang percik empati singkat antara Prowisor dan Daraghmeh. Tentang generasi baru yang mengeras. Dan saya teringat pada cerita Perang Salib Anak-Anak: Betapa 800 tahun yang lalu kaum alim Eropa mengirim pasukan anak jalanan ke Tanah Perjanjian untuk meng-Kristen-kan dan menaklukkan negeri itu dengan kemurnian mereka. Dan para pedagang malah menjual berkapal-kapal anak sebagai budak.
Penulis | : | |
Editor | : | Latief |
KOMENTAR