"Gangguan monyet ini tingkatannya sudah profesor," ungkap Kepala Perkebunan Kopi Afdeling Besaran Suparno dengan gemas. "Dulu monyet tidak pernah makan batang. Kenapa dia makan batang? Karena kayu hutan sudah ditebangi sama orang. Apapun pohon berbuah yang ada di hutan sudah ditebangi. Apa yang mau dimakan monyet di sana? Mau ngga mau ke kampung-kampung."
Suparno berkisah, proyek pembukaan hutan mulai menjamah sisi barat Tambora pada akhir 1970-an hingga awal 2000. Sejak saat itulah kayu kalanggo (Duabanga moluccana) yang menjadi hutan primer khas Tambora mulai ditebang sebagai bahan dasar kayu lapis. Padahal, tumbuhan tinggi yang ditebang untuk bahan dasar kayu lapis ini menjadi vegetasi khas hutan primer Tambora.
"Gangguan monyet ini tingkatannya sudah profesor."
Sejak sekitar satu dekade silam, perusahaan swasta pembukaan hutan itu tidak beroperasi lagi di Tambora. Namun, sampai hari ini, gelumat gergaji mesin para pembalak liar yang merajalela senantiasa menggema di hutan tepian perkebunan kopi.
Hutan Tambora, yang berada di wilayah Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima luasnya mencapai 130 ribu hektare. Pada 11 April 2015, Presiden Joko Widodo meresmikan Taman Nasional Gunung Tambora yang berada di dua kawasan pemerintahan tersebut. Luas Taman Nasional Gunung Tambora mencapai 71,6 ribu hektare, sebagian besar di belahan timur gunung itu. Kawasan konservasi Gunung Tambora bukan sesuatu yang baru. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, gunung tersebut telah menjadi kawasan konservasi sejak 1937. Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, seluas 24 ribu hektare difungsikan sebagai cagar alam; 21,7 ribu hektare sebagai suaka margasatwa; dan 26,1 ribu hektare sebagai taman buru.
Peta kawasan Taman Nasional Gunung Tambora yang sebelumnya merupakan kawasan cagar alam (merah), kawasan suaka margasatwa (ungu), dan kawasan taman berburu (biru). (Warsono/National Geographic Indonesia)
Kawasan konservasi Gunung Tambora memiliki potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa. Terdapat 106 jenis pohon, 18 jenis epifit, 6 jenis herba, 39 jenis liana, dan 49 jenis perdu. Kawasan ini merupakan habitat berbagai jenis satwa seperti rusa timor, biawak, kadal pohon, ular sanca, kera abu dan burung endemik.
Penetapan Taman Nasional Gunung Tambora yang sebagian besar berada di belahan timur, tampaknya kontras dengan nasib hutannya di belahan barat. Bagai kehidupan di dunia yang berbeda, demikian kelanjutan hidup di gunung tersebut.
Muslim, seorang Kepala Dusun Soribura di sisi barat Tamboa, berkisah tentang menurunnya hasil madu hutan di Tambora. Masa panen madu biasanya pada Agustus-September, kata Muslim. Sekitar tiga dekade silam, satu kelompok—yang terdiri atas empat orang—bisa mendapatkan satu drum madu atau sekitar 500 liter. Namun, sekitar sepuluh tahun silam, biasanya mereka mendapatkan madu sekitar 250 liter. Sekarang satu kelompok hanya bisa memanen sekitar 25 liter.
"Sekarang madu jarang, tidak seperti dulu," keluh Muslim. Pohon-pohon telah banyak ditebang , akibatnya sarang lebah pun melangka. Pun, tahun kemarin Muslim mengaku tidak turut mencari madu ke hutan dengan alasan tersebut. Madu hutan, sebagai salah satu indikator keseimbangan ekosistem, menunjukkan keadaan alam Tambora sejujur-jujurnya.
"Hutan di sini sudah rusak," ujar Sugeng Purnomo, seorang guru SD Tambora dan Ketua Masyarakat Pecinta Alam Tambora."Ironis sekali melihat keadaan alam kita seperti ini." Dia mengungkapkan bahwa empat dari enam mata air yang menghidupi desanya kini telah mengering. "Satu mata air yang mengaliri Sorisumba, satu mata air di perbatasan desa, dua dari tiga mata air di antara Pos I dan Pos II dalam jalur pendakian, dan satu mata air di sebuah pura di Kampung Bali yang nyaris mati," ujarnya. "Kalau tidak ada pura, hutan sudah habis."
"Tidak ada sosialisasi kepada warga," ujar Sugeng ketika ditanya tentang pemahaman warga selepas peresmian Taman Nasional Gunung Tambora. "Kami menerima asalkan ada kontribusi buat masyarakat kawasan Tambora. Sejauh ini kami sebagai tuan rumah hanya menjadi penonton hajatan."
Sugeng mengungkapkan hal yang menjadi perhatiannya selepas acara Tambora Menyapa Dunia, puncak acara peringatan dua abad meletusnya gunung tersebut yang dihadiri Presiden. "Sayangnya tidak ada penanaman atau penghijauan hutan kembali," ujarnya prihatin."Saya juga tidak melihat adanya upaya penyelenggara acara untuk melakukan pembersihan sampah."
Dalam dua minggu pertama April—hingga kisah ini ditulis—lebih dari 1.500 pendaki telah menjejaki puncak Tambora.Namun, para pendaki itu telah meninggalkan jejak sampah di sepanjang rute pendakian.
"Hutan di sini sudah rusak. Ironis sekali melihat keadaan alam kita seperti ini."
Haji Zuaril Buyung merupakan mantan manajer produksi pembukaan hutan di Tambora pada akhir 1970-an hingga 1990-an. Warga Oibura, desa di sisi barat kaldera Tambora, mengatakan bahwa pemerintah telah mengeluarkan izin proyek pembukaan hutan di sisi selatan Tambora, Kabupaten Dompu. Dia menyebut nama sebuah perusahaan bidang perkebunan dan kehutanan yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan, yang kelak mengeksekusi proyek ini pada 2015.
Awal tahun lalu Kantor Berita Antara telah mewartakan, perusahaan swasta tersebut menggalang kesepakatan kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk merentangkan hutan tanaman industri seluas 30.000 hektare di pinggang Tambora, Kabupaten Dompu. Lahan seluas itu merupakan bekas hak penguasaan hutan milik perusahaan tempat Buyung bertugas.
"Saya dipanggil lagi, sebagai manajer produksi lagi!" Buyung berujar sambil berbinar. "Mulai tahun ini."
(Disarikan dari “Petaka Baru Bagi Tambora”, kisah feature dalam web National Geographic Indonesia, edisi April.)
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR