Yang ia lakukan adalah meminta peserta penelitian merespons atas "pernyataan-pernyataan yang menjijikkan" seperti "Anda menemukan fakta bahwa teman Anda mengganti pakaian dalam sekali dalam sepekan".
Kemudian para peserta diberi pertanyaan tentang ideologi politik mereka.
Temuan Inbar menunjukkan orang yang mudah merasa jijik cenderung memiliki pandangan politik yang konservatif.
"Kami punya data yang kami ambil di seluruh kawasan di dunia, kecuali di Afrika sub-Sahara dan hasilnya konsisten," kata Inbar.
Kajian lain menunjukkan bahwa perasaan kita di hari pemilihan ikut menentukan siapa atau partai mana yang kita coblos.
Satu penelitian memperlihatkan, membuat orang-orang memikirkan penyakit bisa mendorong mereka berpikir negatif tentang perbedaan ras.
Kajian yang hampir sama pada 2014 menunjukkan, orang-orang yang meresa tidak enak badan cenderung memilih calon yang secara fisik lebih tampan atau lebih cantik.
"Kita cenderung untuk berpikir bahwa kita ini konservatif secara sosial. Kita biasanya menghindari kelompok orang yang tidak kita kenal, kita mentaati praktik tradisi sosial," papar Inbar.
Yang menarik, Inbar dan rekan-rekan sejawatnya juga melakukan penelitian tentang "rasa jijik" dengan menempatkan peserta penelitian ke satu ruang yang berbau dan kaitannya dengan kelompok minoritas.
!break!
Situasi di ruang berbau tersebut membuat para peserta penelitian memiliki kemungkinan untuk tidak menyukai atau setidaknya menghindari kelompok minoritas tertentu, seperti pria-pria homoseksual.
Implikasi praktis dari kajian ini adalah, kampanye partai politik atau artikel di media yang menyertakan kata-kata "bau busuk" atau "menjijikkan" untuk mengomentari kebijakan atau program kerja partai, bisa jadi memiliki dampak signifikan bagi para pemilih.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR