Siapa saja yang mengunjungi Pulau Bangka lewat udara, pasti akan mafhum betapa menderitanya pulau ini akibat ‘luka’ menganga yang menyayat hampir di sekujur wilayahnya.
Hamparan hutan hijau nyaris tak terlihat. Yang mencolok, warna-warna bumi yang digali dan dibongkar untuk dieksploitasi. Luka itu dibiarkan terbuka yang selanjutnya berubah menjadi kolam-kolam. Ya, kolam bekas tambang timah yang sudah berlangsung hampir 200 tahun lalu, baik yang dibuat oleh perusahaan besar maupun para penambang ilegal.
Bangka dan Belitung adalah penghasil sekitar 90% timah Indonesia, dan Indonesia merupakan eksportir timah terbesar kedua di dunia. Namun, dampak buruknya terhadap lingkungan sungguh tak terbayangkan.
“Pertambangan timah sudah merusak 65% hutan di Pulau Bangka dan lebih dari 70% terumbu karang di sekitar Pulau Bangka. Sungai-sungai telah terkontaminasi limbah tambang timah. Air bersih jadi permasalahan utama bagi lebih dari setengah populasi penduduk. Bahkan, puluhan orang tewas yang sebagian besar terkubur atau terjebak di bawah air (di kolam-kolam bekas tambang)” ungkap Pius Ginting, Manajer Kampanye untuk Friends of Earth Indonesia dan Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Indonesia.
!break!Apa jadinya Pulau Bangka jika pertambangan terus berlangsung sementara bekas-bekas tambangnya tak pernah diperhatikan? Untunglah, ada satu kegiatan yang telah dilakukan dan bisa direplikasikan di tempat lain di Bangka, yakni Bangka Botanical Garden (BBG). BBG merupakan kawasan seluas 300 hektar yang memadukan pertanian, peternakan, dan perikanan yang kini menjadi ikon agrowisata di Bangka Belitung.
Awalnya, wilayah ini bekas galian tambang timah terbengkalai yang kemudian direstorasi oleh Johan Riduan Hassan, yang pada 2010 lalu mendapat penghargaan Kalpataru atas usahanya itu. Menurut Johan, ada empat tujuan pengembangan BBG yang kini dianggap sebagai paru-paru Kota Pangkal Pinang: sebagai tempat penelitian lingkungan, sarana edukasi perbaikan lingkungan, wahana rekreasi, serta lahan pendapatan bagi karyawan dan masyarakat sekitar. Berbagai aktivitas pertanian, peternakan, dan perikanan di kawasan ini nyatanya telah memberikan keuntungan finansial.
Keteraturan terlihat jelas saat kita memasuki kawasan BBG. Wilayah ini dikelilingi tumbuhan perdu sebagai pagar hias. BBG juga menggunakan sistem terpadu yang semuanya berkait yaitu peternakan, perikanan, dan perkebunan. Ketiganya saling mendukung guna mensukseskan konsep zero waste yang dikembangkan oleh pengelola.
!break!Zero waste merupakan proses minimalisasi limbah dan sisa produksi dari tiga kegiatan tersebut. Apabila terdapat limbah, akan dimanfaatkan untuk mendukung sektor produksi lainnya.
Bangka Botanical Garden juga dikembangkan untuk perkebunan buah naga, sayur-sayuran, peternakan sapi, pembibitan sejumlah pepohonan mulai dari sengon, ketapang, mede, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, kawasan ini juga menjadi pusat pembibitan beragam jenis tanaman, ikan air tawar, tambak budi daya ikan, peternakan sapi perah dan potong, hingga mencetak persawahan yang ditanami palawija.
Ya, kawasan yang dulunya merupakan ancaman bagi lingkungan, kini berubah menjadi sumber harapan bagi masyarakat sekitar. Dengan kemauan kuat dan inovasi, lahan yang dulunya kritis dan ‘terbuang’, kini bertransformasi menjadi oase yang produktif, self-sustaining, dan bermanfaat langsung bagi masyarakat.
Tak hanya itu, kehidupan liar juga telah kembali ke kawasan ini. Setidaknya, ada 200 jenis satwa dan 2.000 jenis tumbuhan. Inspirasi dari Bangka Belitung ini jua pernah ditayangkan di stasiun televisi internasional Al-Jazeera dalam programEarthrise pada 2012.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR