Nationalgeographic.co.id—Kebakaran hutan menjadi hal yang sering kali dijumpai, mengingat banyaknya hutan yang ada, hampir di setiap daerah di Indonesia. Salah satu peristiwa kebakaran hutan pernah terjadi sejak era kolonial Belanda.
Sejak abad ke-20, Karesidenan Surabaya memiliki potensi sebagai produsen kayu bakar dan pembuatan mebel. Hutan di sisi selatannya didominasi oleh hutan rimba, yakni di Afdeeling (sekarang kabupaten) Mojokerto dan sebagian lainnya di Afdeeling Jombang.
Hutan-hutan di Afdeeling Mojokerto yang dilanda bencana kebakaran adalah hutan yang terletak di kawasan hutan gunung dan hutan dataran tinggi, seperti hutan di Gunung Welirang, Anjasmoro, Penanggungan, dan sekitarnya.
"Kasus kebakaran hutan hebat untuk pertama kalinya dilaporkan pada tahun 1891," tulis Gilarsi. Eriyano W. Gilarsi bersama Sarkawi B. Husain menulis dalam Jurnal Sejarah, berjudul Menjinakkan Si Jago Merah: Kebakaran Hutan & Strategi Penanganannya di Mojokerto, Jawa Timur (1890-1939), publikasi tahun 2019.
"Pada hari Minggu tanggal 11 Oktober 1981, si jago merah mengamuk di persil Sukosari, Distrik Jabung. Kebakaran ini menyebabkan sekitar 370 hektar tanaman, semua rumah dan lumbung dengan jumlah sekitar 630 hangus dan rata dengan tanah," tambahnya.
Halaman berikutnya...
Selain itu, kurang lebih dari seribu hektar hutan milik pemerintah terbakar. Kejadian ini dilaporkan oleh Residen Surabaya kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Bogor. Wilayah Sukosari ini termasuk dalam Onderdistrik (sekarang kecamatan) Trawas, Mojokerto.
Selepas kebakaran hebat pada 1981, hutan di Pegunungan Arjuno juga terbakar. Hutan ini berada di Penanggungan, Welirang, dan Anjasmoro. "Api yang berkobar selama empat hari pada bulan November 1905 membuat hutan rusak berat," lanjutnya.
Kejadian ini juga diinformasikan oleh Residen Surabaya bahwa kebakaran hutan telah terjadi di Onderdistrik Gondang, Pacet, dan Trawas dari Distrik Jabung, Afdeeling Mojokerto. Disebutkan bahwa sekitar seribu bouws bosch (bangunan yang ada di hutan) yang berdiri di lereng Gunung Penanggungan, Welirang, dan Anjasmoro, terbakar habis.
Pada tahun 1925, kasus kebakaran hutan kembali terjadi di wilayah hutan yang sama. Wilayah hutan yang terbakar berada di dua gunung, yaitu Welirang dan Anjasmoro di perbatasan Karesidenan Surabaya dan Pasuruan.
Baca Juga: Empat Rusa Timor Hasil Konservasi Dilepasliarkan di Hutan Mojokerto
"Kebakaran berada di hutan dan sebagian besar ladang dengan rumput dan tanaman yang sangat mudah terbakar. Kebakaran ini dianggap paling hebat dalam sejarah kebakaran hutan di Mojokerto. Sekitar 7000 Ha (Tujuh ribu hektar) hutan hancur akibat kebakaran ini," sambungnya.
Berdasarkan laporan dari Djawatan Kehoetanan Federaal yang berjudul Kebakaran Hoetan, diterbitkan pada tahun 1941, kebakaran hutan umumnya terjadi karena kecerobohan. "Kebakaran hoetan jang ta’ perloe itoe biasanja terdjadi karena bermain-main api atau karena koerang hati-hati," tulisnya.
"Atjap kali terdjadi anak-anak gembala atau orang dewasa oentoek periang-riangkan hatinja, dibakarnja apa-apa ditepi hoetan. Ketika api telah besar dan merambat kesana-kemari, ia ta’ koeasa lagi memadamkan," tambahnya.
"Ada kalanja djoega terjdadi kebakaran besar, karena orang-orang jang memasak ditegalan. Sesoedah memasak loepa ia memadamkan api dan iapoen pergi. Sepeninggalnja api menjala dan ta’ dapat dipadamkan lagi," imbuhnya.
"Ada poela karena koeli-koeli djalan, sebab malasnja merambah semak-semak ditepi djalan itoe, laloe dibakarnja sadja. Api itoe merambat kesana-kemari, kemoedian djadi kebakaran besar," pungkasnya.
Baca Juga: 9 Alasan Mengapa Perubahan Iklim Memicu Kebakaran di Berbagai Negara
Halaman berikutnya...
Berbagai strategi muncul sebagai upaya penanganan atas terjadinya kebakaran hutan. Upaya yang dilakukan tidak hanya berupa penanggulangan, melainkan juga langkah-langkah untuk mencegah agar kebakaran hutan tidak berulang.
"Dalam menangani kebakaran yang melanda hutan di tiga tempat sekaligus pada tahun 1905, Residen Surabaya melihat langsung ke lokasi kejadian. Setelah dilakukan pengamatan selanjutnya akan ditangani lebih intensif," sambung Eriyano W. Gilarsi bersama Sarkawi B. Husain.
"Selama tinggal di Trawas, Residen Surabaya mengagendakan kunjungan ke kebun kopi pemerintah sekitarnya, memberi edukasi untuk berhati-hati dan ikut menjaga sekaligus melindungi hutan sekitar," tulisnya.
Kemudian, melalui kasus kebakaran hebat di tahun 1925, sangat penting untuk melakukan reboisasi di daerah yang sudah terbakar habis pada kebakaran tahun 1921. "Dalam upaya mencegah kebakaran lebih lanjut, maka dilakukan langkah-langkah yang bersifat ekstensif," lanjutnya.
Baca Juga: Apa Jadinya Jika Terjadi Kebakaran Hutan pada Era Pandemi Ini?
Langkah ini dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat di semua daerah agar secara aktif bersama-sama ikut mencegah terjadinya kebakaran hutan mulai dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan.
Langkah ini disertai dengan pelatihan-pelatihan agar masyarakat bisa siap siaga apabila sewaktu-waktu ada hutan yang terbakar. Selain itu pembuatan jalur bebas api “gordel weg” juga dilakukan untuk mencegah kebakaran di hutan.
"Upaya penanggulangan dilakukan dengan membentuk tim khusus bernama De Bosch-brandweer sebagai wujud dari perhatian pemerintah terhadap kebakaran hutan yang terjadi sangat masif, sampai pada tahun 1929," pungkasnya.
De Bosch-brandweer menyusun strategi khusus dalam memadamkan api. Teknik pemadaman di masa itu, biasanya dilakukan dengan cara menyiram api dengan air dan pasir yang diambil dari gunung. Ada juga yang berupaya melokalisir api dengan cara membatasinya dengan tanah terbuka. Langkah ini mirip dengan sistem gordel weg.
Baca Juga: Spesies Ikonik Terancam Punah Setelah Kebakaran Hutan di Australia
Source | : | Jurnal Sejarah |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR