Ketika melintas di Jalan Cik Di Tiro, Banda Aceh, Isuzu MU-X yang dikendarai tim Tour de Sumatera Tribun berhenti di tepi jalan.
Di atas trotoar, ada enam buah kuali besar dan asapnya membumbung. Banyak orang memarkir kendaraan bermotor mereka di tepi jalan. Mereka berkerumun di samping kuali-kuali itu. “Kari kambingnya, Pak!” ujar Bilmin sambil mengaduk isi kuali itu.
Kari kambing merupakan salah satu kuliner khas Aceh. Bilmin merupakan satu dari tiga penjual kari kambing di tepi Jalan Cik Di Tiro. Sebenarnya Bilmin memiliki warung yang berada di tepi jalan, namun selama Ramadan dia hanya boleh menjajakan kari kambing menjelang berbuka puasa.
Dagangan Bilmin mulai diserbu masyarakat. Mereka ingin menyantap kari kambing sebagai menu berbuka puasa di rumah.
Kari kambing adalah menu makanan berbuka puasa yang harus ada di atas meja masyarakat Banda Aceh. Bilmin mengklaim kari kambing merupakan kuliner khas Kabupaten Aceh Besar. “Biasanya kari kambing ada saat perayaan-perayaan besar atau pesta,” tutur pria 40 tahun itu.
Seperti pada dasarnya kari, kuah kari kambing berwarna merah kekuningan. Meski menggunakan cabai, kari kambingnya tidak terasa begitu pedas.
Pas untuk orang yang tidak tahan pedas. Selain karena rasanya yang sedap, kari kambing pun tahan untuk santap sahur. Bilmin mengaku tidak menggunakan santan sehingga masakannya bisa tahan lama. “Untuk satu kuali ini biasanya saya memasak dua ekor kambing. Semua bagiannya saya gunakan,” terang Bilmin.
Selain daging kambing, kari kambing menggunakan buah nangka sebagai lauknya. Menurut Bilmin, nangka yang digunakan harus nangka muda. Terkadang ada orang yang menambahkan buah pisang sebagai pendamping. Seporsi kari kambing tanpa nasi dibanderol Rp 25.000.
“Selama bulan puasa saya selalu beli kari kambing untuk berbuka. Selain itu kari kambing masih tahan untuk sahur,” ungkap seorang perempuan yang turut mengantre.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR