Valentino Achak Deng dulu merupakan bocah pengungsi yang berjalan selama berbulan-bulan melintasi wilayah untuk melarikan diri dari perang brutal.
Dia tinggal di kamp pengungsi di Ethiopia dan Kenya, menimba ilmu selama perjalanan berbahaya sebelum kemudian direlokasi ke Amerika Serikat.
Kisah kehidupan Deng diceritakan penulis AS, Dave Eggers, dalam buku laris berjudul What is the What.
Kini, nasib Deng tak ubahnya kejutan dalam kisah fiksi. Dia telah diangkat menjadi menteri pendidikan di Northern Bahr el-Ghazal, salah satu dari 10 negara bagian Sudan Selatan yang merebut kemerdekaan dari Sudan pada 9 Juli 2011.
Deng mengaku dia pun susah membayangkan dirinya yang dulu berpakaian compang-camping kini berubah menjadi menteri dengan setelan rapi.
“Bila seseorang bersikap positif dan optimis, hal-hal baik akan terjadi,” katanya.
Deng memiliki ambisi besar bagi anak-anak di wilayahnya dan mengatakan cerita hidupnya memberi contoh yang baik.
“Pelajaran yang saya dapatkan adalah manusia bisa selalu belajar, berhasil melalui masa sulit dan gigih dan bertumbuh. Sangat menyenangkan melihat anak-anak yang berhasil – semuanya tersenyum dan memiliki kisah sukses.”
!break!menjadi menteri pendidikan di Northern Bahr el-Ghazal tahun lalu setelah sukses membangun sekolah di Kota Marial Bai, dibantu dana dari penjualan buku What is the What.
Ketika kita berbincang, seorang orang tua murid datang berterima kasih kepada Deng karena pendidikan yang diberikan sekolah yang dia dirikan bagi anak-anak.
Di sekolahnya itu, Deng membawa anak-anak dari Pibor, area terdampak konflik di ujung negara tersebut.
“Saya ingin anak-anak dari Northern Bahr el-Ghazal belajar bersama anak-anak dari ke sembilan negara bagian Sudan Selatan lainnya, dan mengambil manfaat dari lingkungan antar-budaya itu,” katanya.
Namun sekarang Deng menghadapi tantangan-tantangan lebih besar sebagai menteri negara bagian di sebuah negara dengan politik yang terbelah dan krisis ekonomi hasil perang sipil Sudan Selatan.
Deng mengatakan dia kekurangan pengajar yang cakap di tengah banyaknya jumlah siswa yang berbondong-bondong ke sekolah.
Bangunan sekolah pun bermasalah. Banyak kegiatan belajar-mengajar berlangsung di bawah pohon. Begitu musim hujan semua kebasahan.
Anak-anak juga seringkali datang ke sekolah dalam kondisi lapar “yang berdampak pada kemampuan belajar mereka”, kata Deng.
Lalu banyak yang kesulitan mengerti bahasa Inggris, bahasa resmi Sudan Selatan, khususnya bila mereka tumbuh besar di masa pra-kemerdekaan Sudan yang bahasa resminya adalah Arab.
!break!Northern Bahr el-Ghazal telah diselamatkan dari dampak terburuk perkelahian perang sipil yang dimulai 18 bulan lalu, namun dampak krisis masih jelas terlihat.
"Harga terus berfluktuasi, guru-guru tidak dapat bertahan hidup dengan gaji mereka," jelas Deng.
"Anak-anak kelaparan, mereka tidak pergi ke sekolah karena mereka harus bertahan hidup."
Deng khawatir kehilangan jumlah besar anak-anak yang buta huruf, akibat kekerasan.
“Pendidikan bisa mentransformasi, namun tidak bisa melakukan banyak bila murid-murid terpaksa harus meninggalkan sekolah.”
Deng menganggap dirinya sebagai seseorang yang bertindak dan bukan hanya seorang politikus, namun dia sendiri tahu dari pengalaman pribadi perubahan yang bisa dibawa oleh pendidikan.
“Ketika saya berjalan melintasi selatan Sudan tanpa alas kaki, saya benar-benar tidak tahu apapun, tidak memiliki peta, tidak tahu lokasi saya, cara mencari jalan di hutan atau mencari tanda-tanda bahaya. Saya hanya seorang bocah naïf, mencari keselamatan.”
Perjalanan pendidikan Deng sendiri,terputus karena perang. Hidup di kamp pengungsi Ethiopia dan Kenya mengajarkan dirinya bahwa negara asalnya akan lebih baik bila lebih banyak orang bersekolah.
“Kami memiliki segelintir orang-orang yang berpendidikan, jumlah sekolah yang sedikit, infrastruktur dasar pun tidak ada, tidak ada sistem pertanian pusat. Itu semua karena perang, yang memundurkan kami beberapa tahun. Jadi dengan pendidikan, saya tidak akan harus melalui kesusahan itu. Seseorang pasti akan memikirkan alternatif.”
Sekarang Deng memiliki kesempatan mendidik ribuan anak-anak, sebagai menteri pendidikan negara bagian atau melalui sekolahnya.
“Yang saya doakan, kami sebagai pemimpin negara muda ini harus menghentikan kekerasan, menghentikan apapun yang menghancurkan jiwa, mencari solusi dan kita pun bisa seperti yang lain.”
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR