Pada dasarnya bahan serabi dan cara masaknya sama, berbahan beras dan dimasak di atas tungku tanah tanpa minyak. Tiap daerah mempunyai citra rasa dan kekhasan tersendiri. Berikut ini saya ceritakan tentang serabi kuah asal Ponorogo, Jawa Timur.
Mbah Tini saban jam 3 pagi menjelang subuh sudah mempersiapkan perapian untuk memanasi kereweng tanah (wajan yang terbuat dari tanah). Kelapa dan santan sudah ia siapkan sejak jam 1 malam, sedang tepung beras sudah digiling sore harinya. Ketika adzan subuh tiba ia segera melangkah ke Masjid Agung yang tak jauh dari tempatnya jualan. Dan sekembali dari masjid orang sudah antre di tempat ia jualan.
"Yah menten kok pun telas mbah?" tanya saya karena mbah Tini sudah mengoreti dan mengiringkan panci wadah adonan tepung beras dan santan langsung ke kereweng tanahnya.
"Nggih mas... la sampeyan pun kawanen, la wong lare sekolah pun sami bidal pra nggih pun meh jam 7...." jawab mbah Tini sambil membolak mbalik srabi di kerewengnya.
"Milai kapan sadeyan teng pojokan prapatan niki mbah?" tanya saya.
"Kulo sadeyan awit tahun 70-an bar gestok...., jane teng yogo ken leren leh sadeyan, tapi gek yo nyapo yen nganggur nek omah, kadung kulino tangi esuk, malah ora kepenak mas..." jawab mbah Tini, menceritakan bahwa dia jualan di pojok perempatan alun-alun Ponorogo ini mulai tahun 70-an setelah peristiwa Gestapu.
Sebenarnya oleh anaknya sudah dilarang jualan, tapi dia tidak mau menganggur di rumah karena sudah terbiasa bangun pagi. Nanti kalau istirahat malah badannya tidak enak.
Di Ponorogo selain mbah Tini banyak lagi yang jualan serabi, hampir di pojokan perempatan ada yang jualan, seperti di perempatan Tonatan, perempatan Tambak Bayan, perempatan Pasar Pon, perempatan pabrik es, bundaran timur pasar Legi dan perempatan depan kecamatan kota (Bangunsari) di atas.
Mbah Tini mulai jualan jam 3 pagi dan siap (matang) jam 4 pagi ketika orang-orang sudah keluar masjid.
Tidak tahu mengapa ciri khas jualan mereka di pinggir jalan, perempatan dan dekat masjid dan bukannya menjelang subuh sampai jam 6-an pagi. Ketika ditanya ini sudah turun temurun sejak dari neneknya dulu.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR