Pada Kamis, 3 Desember 2015, Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) menggelar diskusi publik dengan tema “Jogja: Lokalitas atau Pusat yang Baru?” di Bentara Budaya Yogyakarta. Dengan pembicara Imam Karyadi, Ismail Basbeth, Rianto Tan Ageraha dan Isabelle Glachant, diskusi ini mengajak peserta untuk bersama-sama membedah kekuatan, pola serta regulasi perfilman di Yogyakarta.
Perihal Jakarta yang selama ini dianggap sebagai pusat sinema Indonesia, Rianto Tan Ageraha mengatakan bahwa Yogyakarta tidak menarik industri film dari Jakarta. “Yogya akan tumbuh dengan dirinya dan akan mewarnai perfilman nasional.”
Bahkan menurut Rianto, pusat perfilman di Indonesia memang sudah bergeser tanpa perlu digeser. “Kita akan tumbuh dan variasi film-film yang ada di Yogya itu berbeda,” imbuhnya.
Selama ini, aktifitas sinema di Yogyakarta lekat kaitannya dengan komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok film. Bagi sutradara film Mencari Hilal, Ismail Basbeth, setiap komunitas atau kelompok mempunya pola kerja yang berbeda-beda, namun “nyawa dan polanya (yang berbeda-beda) sendiri yang membuat kita terus bertahan, fleksibel dan tumbuh.” Keberagaman yang ada di Yogya, menurutnya, adalah hal yang bisa dijadikan pelajaran dan membuat Yogyakarta menjadi spesial.
Imam Karyadi, sebagai pihak yang mewakili pemerintah daerah (Pemda), mengungkapkan bahwa anggaran perfilman meningkat tajam dari 2010-2015. Pada 2010, anggaran dana untuk bidang perfilman sekitar Rp 50 juta, sedang pada 2015 mencapai Rp 10 milyar. “Kenapa? Karena kita punya dukungan dana dari danais (dana istimewa),” ujar Imam.
Seperti diketahui, bulan Desember 2015 dicanangkan sebagai Bulan Sinema Jogja oleh Pemda, lewat tagar #DesemberkeJogja. Selain JAFF, paling tidak ada empat festival film di Yogyakarta: Jogja Animation Festival, Pameran Potensi Perfilman Yogyakarta, Festival Film Pelajar Jogja dan Festival Film Dokumenter.
Penulis | : | |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR