Tim ilmuwan dari Museum Zoologi Bogor, Pusat Penelitian Bioologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lousiana State University, dan Museum Victoria mengungkap genus baru tikus, disebut tikus hidung babi.
Genus baru itu ditemukan di hutan perawan wilayah Toli-toli, Sulawesi, yang jarang dijamah. Hanya satu dua pencari rotan yang mencapai wilayah itu.
Temuan ini memberi pengetahuan tentang penyebaran tikus cecurut yang ternyata bisa mencapai wilayah lebih ke utara dan lebih tinggi dari yang diduga. Riset dipublikasikan di Journal of Mammalogy edisi Oktober 2015.
Anang Setiawan Achmadi, Jake Esselstyn, Kevin Rowe, dan Heru Handika sedang melakukan ekspedisi penelitian ke hutan wilayah Gunung Dako ketika menjumpai genus tikus itu pada tahun 2012.
Tim memasang perangkap jepit dan umpan di suatu dataran di hutan berketinggian lebih dari 1.500 meter. Perangkap jepit adalah perangkat umum yang biasa dipakai untuk mengoleksi hewan pengerat liar.
"Yang pertama kali menemukan tikus ini Kevin. Dia berteriak. Kita yang masih di camp dan mendengar langsung curiga ada sesuatu yang mengejutkan," kata Anang menceritakan.
Begitu Kevin membawa spesimen ke camp, seluruh tim kegirangan. Mereka langsung melakukan analisis singkat dan meyakini bahwa tikus yang dijebak adalah jenis baru.
Saat melakukan analisis di laboratorium, tim mengungkap bahwa spesimen tikus yang ditangkap sangat khas dan berbeda dengan lainnya sehingga bahkan layak disebut genus baru.
Secara ilmiah, tikus baru ini dinamai Hyorhinomys stuempkei. Nama genus "Hyorhinomys" diambil dari kata "hyro" yang berarti "babi", "rhino" yang berarti "hidung", dan "mys" yang berarti "tikus".
Sementara, nama spesies "Stuempkei" diambil dari nama samaran Gerolf Steiner, Harald Stümpke. Dia adalah penulis buku fiksi "The Snouter" yang bercerita tentang adanya tikus yang terpapar radiasi sehingga hidungnya menjadi panjang.
Kepada Kompas.com, Senin (5/10), Anang mengatakan, "Ciri yang sangat menonjol dari tikus ini adalah hidungnya yang seperti hidung babi." Dikatakan seperti hidung babi karena bentuknya yang besar, rata, dan berwarna merah muda.
Ciri lain adalah adanya rambut yang sangat panjang di bagian dekat saluran kencing. "Belum pernah pada tikus cecurut lain kita temukan rambut urogenital yang sepanjang ini, mencapai 5 centimeter. Kita belum tahu fungsinya apa."
Karakteristik unik lain dari tikus baru ini adalah gigi serinya yang putih. Kebanyakan tikus memiliki gigi seri oranye. Sementara itu, telinganya juga besar.
"Di Australia, Hyorhinomys lebih terlihat seperti tikus Bilby, dengan kaki belakang yang besar, telinga besar dan panjang, serta moncong yang panjang dan meruncing," ungkap Kevin.
Ciri itu merupakan salah satu karakteristik tikus pengerat karnivora yang memakan cacing tanah, larva kumbang, dan serangga kecil.
Temuan tikius ini menantang pandangan ilmuwan tentang penyebaran cecurut di Sulawesi saat ini. Sejauh ini, cecurut dibilang hanya menyebar hingga wilayah Sulawesi bagian tengah dan di dataran rendah.
Wilayah Toli-toli sudah terlalu ke utara. "Untuk sampai ke sana, ada barrier yang harus dilewati. Bagaimana cecurut ini sampai ke sana, ini masih pertanyaan," kata Anang.
Sementara itu, cecurut hingga saat ini ditemukan hanya pada ketinggian di bawah 1.500 meter di atas permukaan laut. Tikus hidung babi ditemukan di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut.
Temuan ini menambah daftar tikus-tikus unik di bumi sebelumya. Sebelumnya, diungkap keberadaan tikus ompong (Paucidentomys vermidax) dan tikus air Mamasa (Waiomys mamasae).
Kevin mengungkapkan, "Kami masih kagum kita bisa berjalan ke pelosok hutan di Sulawesi dan menemukan beberapa spesies baru mamalia yang sangat berbeda dari spesies yang telah diketahui, atau bahkan genus sekalipun."
Anang menuturkan, penemuan genus baru yang ketiga dalam kurun waktu 5 tahun terakhir adalah bukti nilai penting kawasan hutan dan pegunungan di Pulau Sulawesi. Masih banyak "harta karun terpendam" keanekaragaman yang harus dijaga.
Pentingnya konservasi kewajiban masyarakat Indonesia. Jangan sampai keanekaragaman hayati punah sebelum diungkap dan diketahui manfaatnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR