Kalau kita ingin kentang goreng, tinggal pergi ke restoran cepat saji. Namun bagi para geisha, hal sepele semacam itu tidak bisa dilakukan terang-terangan.
Bagi seorang geisha, tabu untuk terlihat makan kentang goreng. Karena itu, geiko—begitu sebutan mereka di kota kuno Kyoto—dan pemagang mereka yang disebut maiko harus mempersiapkan sebuah rencana untuk menghindari deteksi.
“Perlu untuk sangat hati-hati mengenai citra yang kami proyeksikan,” kata Kikumaru, geiko terkenal, sambil berlutut di lantai kayu sebuah kedai teh di Distrik Gion.
“Seorang maiko dilarang masuk ke restoran cepat saji atau toko trendi yang menjual rok mini. Namun, kadang-kadang mereka ingin sekali menikmati kentang goreng,” katanya.
“Kalau itu terjadi, kami harus mengenakan celana jeans dan membelikan untuk mereka, dan membiarkan mereka memakannya di rumah diam-diam.”
Di lima hana-machi atau kawasan geisha di Kyoto, tidak banyak yang berubah sejak mereka muncul pada abad ke-17. “Adalah tugas geiko untuk melindungi adat istiadat dan kebudayaan Jepang yang semakin hilang dan untuk melanjutkan tradisi itu,” kata Kikumaru dalam dialek lokal yang lembut.
“Kala kami pergi ke luar, kami harus selalu hati-hati dengan cara kami berjalan, menjaga sikap tubuh dan perilaku kami. Kami tidak diperbolehkan menggunakan Facebook atau hal semacamnya.”
Mengenakan kimono yang rapi, wajah mereka berbedak putih, para geisha itu berjalan bagai melayang dengan anggun di sepanjang jalan-jalan berbatu di Gion, di antara tuags mereka di kedai-kedai teh distrik itu.
Mahir dalam seni-seni Jepang, seperti menari dan memetik shamisen atau kecapi tiga senar tradisional, pekerjaan seorang geiko—gadis penampil seni—adalah tampil dalam pertunjukan bagi tamu-tamu eksklusif, biasanya dalam santap malam.!break!
Pelanggan mereka biasanya politisi dan pengusaha terkenal. “Orang mengira ini adalah pekerjaan yang glamor. Namun ini adalah sebuah uji kekuatan,” kata Kikumaru sambil tertawa.
“Ini adalah kerja keras, tetapi geisha adalah perempuan kuat dan keras yang sangat tekun. Sebagian pergi ke pusat kebugaran. Saya melakukan yoga. Tidak banyak waktu senggang.”
Geiko berawal dari pelayan setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Jepang pada usia 15 tahun, lalu menjadi maiko—gadis penari. Selama lima tahun mereka dilatih dalam seni pertunjukan, etiket sosial dan keterampilan berbincang. Pada usia 20 tahun, mereka mendapatkan gelar geiko. Sekitar 175 geiko di Kyoto hidup dalam aturan ketat.
Persepsi geisha kerap jauh dari realitas. Banyak rekan Kikumaru dibuat ngeri oleh novel—kemudian menjadi film—Memoirs of a Geisha. Tokoh utamanya, mantan geisha, Mineko Iwasaki, menuntut penulis buku itu, Arthur Golden, karena menyamakan geisha dengan pelacur.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR