Nationalgeographic.co.id—Kehidupan Jepang kuno tak lepas dengan peran sebuah layar. Seperti halnya, wanita melahirkan di antara layar yang dipenuhi motif burung bangau dan kura-kura, hewan yang dianggap membawa keberuntungan, kebahagiaan, dan umur panjang.
"Pada saat kematian datang, tubuh almarhum disertai dengan penutup berupa layar terbalik, sebagai tanda kehilangan yang tidak dapat diubah (kodrat)," tulis Ford.
Lauren Moya Ford menulis kepada Hyperallergic dalam artikelnya berjudul The Magnificent History of Japanese Screens, dipublikasikan pada 30 November 2021.
"Dari kastil hingga kuil, di atas kertas atau sutra, layar telah memainkan peran penting dalam kehidupan Jepang selama berabad-abad," tambahnya.
Layar pertama kali diimpor ke Jepang dari Cina pada abad kedelapan. Byōbu atau penghalang terhadap angin, awalnya ditujukan dalam istana kekaisaran, di mana ia digambarkan sebagai sekat ruang simbolik.
Sejarah layar lipat paling awal tercatat telah ada sejak era Dinasti Zhou berkuasa di Cina selama awal 300-an SM. Layar lipat juga telah digambarkan di sepanjang dinding makam dari dinasti terbesar di Cina, Dinasti Han.
"Layar lipat Cina pada awalnya digunakan sebagai partisi. Terbuat dari bingkai kayu, layar lipat Cina disatukan oleh tali kulit yang diikat melalui lubang di tepi panel," tulis Tansu dalam laman resminya berjudul The Documented History of Japanese Shoji Screens.
"Byōbu juga merupakan material selama penobatan, peringatan, jamuan makan, dan perayaan ulang tahun," sambung Ford.
Halaman berikutnya...
Layar besar (Byōbu) dan berornamen rumit, berfungsi sebagai elemen penting dari gaun pengantin wanita bangsawan di Jepang. Terkadang juga dikirim sebagai cinderamata, hadiah diplomatik hingga ke Eropa.
"Adapun fungsi kobyōbu yang lebih kecil ukurannya dibandingkan byōbu, digunakan dalam upacara dupa untuk menjebak keluarnya udara dan mempertahankan wewangian yang keluar dari dupa," imbuhnya.
Di luar fungsi seremonialnya, layar bermotif lanskap Musim Gugur di Jepang dengan selipan puisi, karya Tosa Mitsuoki, menawarkan refleksi pemandangan budaya yang ada di Jepang.
"Byōbu umumnya dilukis dengan indah menggunakan tinta emas, perak, di atas kain selembut sutra (atau sutra), dan dikemas dengan makna yang dapat dinikmati oleh penikmatnya saat menguraikan dan menafsirkannya," ungkapnya.
Baca Juga: Sejarah Unik Maneki-Neko, Kucing Pembawa Keberuntungan dari Jepang
Lukisan Mitsuoki dalam dinding byōbu menggambarkan dan merepresentasikan filosofi kehidupan. "Daun dan bunga dalam gambar akan segera gugur, melambangkan ketidakkekalan hidup," kisahnya.
"Pohon maple dan ceri membangkitkan musim semi dan musim gugur, tema yang muncul dalam puisi yang ditulis pada potongan kertas tanzaku, tergantung di cabang-cabang pohon," imbuhnya.
Tanzaku berisi syair-syair yang diambil dari antologi kekaisaran yang mungkin sudah tidak asing lagi bagi para kaum terpelajar.
Akhirnya, saat memasuki periode Edo dan munculnya kelas pedagang, layar byōbu mulai menyebar ke sektor masyarakat lainnya yang lebih luas. Baik di istana kekaisaran atau rumah pribadi, byōbu adalah elemen ruang domestik yang sangat indah dan fungsional.
Baca Juga: Alih Fungsi Kipas Lipat, dari Aksesori Mode Menjadi Senjata Mematikan
Bersama dengan pintu geser, daun jendela, gorden, dan sekat, membuat partisi bergerak yang dapat dibuka, ditutup, dan diatur sesuai kebutuhan penghuni.
"Dengan gerakan lipat, gambar layar dan pembacaan visual juga terus berubah. Terletak di persimpangan lukisan dan patung, dekorasi dan arsitektur, byōbu Jepang adalah objek seni yang dinamis dan nikmat dipandang," pungkasnya.
Meski sempat menjadi simbol, kini byōbu mulai ditinggalkan oleh masyarakat Jepang modern. "Kalau untuk motif jepang yg tradisional seperti ini sudah jarang dipakai di rumah-rumah biasa (modern)," ujar Shafira kepada National Geographic.
Shafira Khairunnisa adalah tutor bahasa Jepang di SMA Al-Islam 1 Surakarta dan Global Ambassador Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ia juga pernah tinggal di Jepang selama 8 tahun dan mengenyam pendidikan di Naganedai Elementary School, Nagoya, Jepang.
"Biasanya (byōbu) ada di toko kimono, restoran-restoran tradisional dan rumah-rumah zaman dulu," tambahnya.
Shafira mengungkapkan bahwa selain karena sudah tak lagi beredar di rumah-rumah modern, byōbu juga relatif mahal dan motifnya menjadi lebih sederhana, tidak serumit dulu.
"Kalau bikinnya dengan teknik tradisional, nempelin kertas emas satu-satu pakai tangan jadi lebih mahal," sambungnya. Harganya dibanderol ¥495,000 hingga ¥3,850,000, atau jika dikonversi ke rupiah akan bernilai Rp63.000.000 hingga Rp490.000.000.
Baca Juga: Sejarah Unik Maneki-Neko, Kucing Pembawa Keberuntungan dari Jepang
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR