Dengan parang dan tombak di tangan, beberapa laki-laki bertubuh kekar menari tarian perang memandu rombongan para tokoh ohoi (desa adat). Mereka bertemu guna memperteguh sumpah yang diikrarkan leluhur ratusan tahun silam. Upacara bernama Tea Bel itu untuk menjaga persaudaraan warga Nuhu Evav yang lazimnya dikenal dengan sebutan Orang Kei.
Ketika arakan para tokoh ohoi hendak melebur, setiap kepala pasukan maju dan bersalaman disusul para raja (kepala ohoi). Mereka mengenakan pakaian kebesaran.
Rombongan dari arah utara disebut komunitas Ohoivut dengan baju berwarna kuning, sedangkan dari selatan adalah Nufit yang melambangkan diri dengan warna merah. Pertemuan itu terjadi di Ohoi Faan, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Komunitas Ohoivut dan Nufit terdiri dari 30 ohoi yang menetap di Pulau Kei Kecil, Pulau Dullah, dan Tanimbar Kei. Secara administratif, mereka masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Keseluruhan wilayah tersebut masuk dalam Kepulauan Kei.
Setelah bersalaman, Raja Ohoi Faan Patris Renwarin mengajak utusan Ohoivut dan Nufit menuju pelataran rumah adat Faan. Rombongan yang berjumlah sekitar 20 orang itu dipersilakan duduk membentuk huruf U di atas tanah beralaskan daun kelapa, di bawah pohon kelapa.
Bunyi tifa, gong, dan seruling yang mengantar rombongan itu pun berhenti. Suasana hening ketika Patris memegang pengeras suara dan berbicara.!break!
Dalam bahasa Kei, ia membuka sidang adat dan mempersilakan setiap komunitas menyampaikan maksud kedatangan mereka.
Lebih kurang satu jam, forum menyetujui beberapa persyaratan yang ditawarkan Patris selaku mediator. Akhirnya, mereka bersedia memperbarui sumpah adat leluhur mereka ratusan tahun silam itu.
”Ye...ye...ye...ye...ye...ye...ye...,” teriak seorang dari anggota sidang adat tersebut dengan keras.
Lebih kurang 2.000 warga yang hadir pun menjawab, ”U...e....”
Pekikan sebagai tanda kemenangan itu terdengar beberapa kali. Tanggal 28 Oktober 2015 menjadi hari bersejarah bagi warga pada dua komunitas itu.
Mereka menyatakan diri sebagai satu darah sehingga wajib saling membantu dalam kesusahan terutama pangan. Karena sedarah itu pula, tak dibenarkan adanya perkawinan di antara mereka.
Secara simbolis, Patris meminta seorang laki-laki dan perempuan dari Ohoivut dan Nufit melingkari tempat acara itu dengan kain merah dan kuning. Ribuan warga diminta masuk ke dalam lingkaran itu sebagai bentuk persaudaraan.
Mereka bersalaman, berpelukan, kemudian menari bersama dengan sukacita. Kesepakatan menjadi satu darah berlaku bagi seluruh warga di dua komunitas tersebut.
Seusai seremonial adat, warga makan bersama. Mereka menyiapkan makanan yang dimasak dengan cara bakar batu. Semua makanan diambil dari pangan lokal, seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, daging ayam, siput, cumi-cumi, gurita, ikan dari berbagai jenis, dan sayur-sayuran.!break!
Makanan itu dijejer di dalam pondok-pondok kecil beratap daun kelapa yang berdiri di pinggir jalan Ohoi Faan. Setiap warga juga dipersilakan mencicipi makanan dari ohoi lain.
Tak hanya warga Ohoivut dan Nufit, para tamu dari luar daerah pun diajak menikmati hidangan tersebut. Ibu-ibu Kei dengan ramah menawarkan makanan kepada tamu yang melintas di depan pondok. Terlihat pula beberapa wisatawan mancanegara menyaksikan upacara tersebut.
Jaga kedamaian
Petrus C Renwarin, ketua panitia upacara Tea Bel, mengatakan, upacara tersebut untuk mengingatkan warga bahwa persaudaraan yang terjalin sejak ratusan tahun silam akan terus berlangsung untuk selamanya.
Setiap generasi wajib bertanggung jawab terhadap sumpah tersebut dengan terus menjaga persaudaraan.
Hubungan Tea Bel memiliki kesamaan dengan hubungan Pela yang berlaku di Pulau Ambon, Pulau-pulau Lease, dan Pulau Seram. Hubungan tersebut diawali dengan suatu peristiwa, bahkan berupa kekerasan.
Tak ingin ada pertumpahan darah lagi, para leluhur mengangkat sumpah untuk menjadi satu darah. Hal tersebut memiliki konsekuensi sebab Tuhan dan leluhur turut menyaksikan sumpah tersebut.
Jika dilanggar, lanjutnya, orang tersebut akan mengalami berbagai kemalangan, seperti meninggal, gila, atau tidak memiliki keturunan.!break!
Bagi muda-mudi yang telanjur menikah atau pemuda yang terlibat perkelahian, secepatnya mendatangi tua adat untuk memohon agar dilakukan upacara permintaan maaf kepada Tuhan dan leluhur. Orang Kei sangat meyakini hal tersebut.
Dengan memegang teguh persaudaraan, kedamaian akan sendirinya tercipta. Jarang terdengar orang Kei bertikai atas dasar perbedaan agama. Keturunan Kei umumnya memeluk agama Islam, Katolik, dan Kristen Protestan.
Peristiwa kekerasan di sana biasanya terjadi karena menyerobot lahan orang lain atau menyakiti perempuan. Masyarakat Kei menempatkan perempuan pada posisi terhormat.
Persaudaraan tanpa melihat agama itu terbukti ketika Maluku dilanda konflik sosial bernuansa agama pada 1999. Konflik yang bermula di Ambon menyebar begitu cepat ke hampir semua daerah di Maluku, termasuk Kepulauan Kei.
Namun, konflik di Kei hanya bertahan selama tiga bulan sebab persaudaraan di Kei sangat kuat, dan itu diakui kebanyakan warga Maluku. Sementara konflik di Ambon baru reda pada tahun 2005.
Pesan perdamaian dalam Tea Bel juga tidak hanya berlaku bagi sesama keturunan Kei, tetapi juga antara warga Kei dan orang suku lain.
Dilarang melukai orang dari suku lain sebab dalam adat Kei, nilai kemanusiaan sangat dijunjung tinggi. Leluhur Kei telah merumuskan hal tersebut dalam hukum yang berisi tujuh pasal, yakni Hukum Larvul Ngabal.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon S Tiwery mengatakan, Tae Bel berhasil mengelola keberagaman di Kei, dan ini bisa menjadi referensi bagi daerah lain.
Ia pun berharap agar upacara tersebut dimaknai oleh semua warga Ohoivut dan Nufit. Ia yakin, daerah itu bakal aman sebab warganya tidak mungkin digoyang isu perpecahan yang masih terjadi di sejumlah daerah.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR