Nationalgeographic.co.id—Letusan Gunung Semeru di Jawa Timur pada Sabtu lalu secara tragis merenggut nyawa setidaknya 43 orang per 9 Desember 2021 dan ratusan orang lainnya luka-luka. Lebih dari 5.000 orang terkena dampak letusan ini, dan lebih dari 2.000 orang mengungsi di 19 titik evakuasi.
Erupsi pada 4 Desember 2021 itu menghasilkan gumpalan abu yang mencapai 15 kilometer ke atmosfer, bersama dengan aliran piroklastik panas, berupa awan padat hasil campuran lava, abu, dan gas yang bergerak cepat. Semburan lumpur vulkanik yang disebut lahar juga berjatuhan menuruni lereng curam gunung berapi. Abu tebal menyelimuti desa-desa terdekat dan membuat beberapa daerah gelap gulita.
Beberapa desa tertimbun material vulkanik dan puing-puing setinggi 4 meter. Lebih dari 3.000 bangunan rusak, dan Jembatan Gladak Perak yang menghubungkan Lumajang dengan kota terdekat, Malang, ambruk.
Pemberitahuan Volcano Observatory Notice for Aviation (VONA) sejak itu melaporkan aliran piroklastik lebih lanjut menuruni lereng gunung berapi tersebut, dan gumpalan abu mencapai 4,5 kilometer di atas puncaknya. Ada juga laporan aliran lava di kawah puncak.
Heather Handley, peneliti geologi dari Monash University, membuat sebuah ulasan mengenai letusan Gunung Semeru dalam sebuah artikel di The Conversation. Dia mencatat bahwa Gunung Semeru adalah salah satu gunung berapi paling aktif di Jawa, dengan aktivitas yang berlangsung selama 74 tahun dalam 80 tahun terakhir.
"Fase letusan Gunung Semeru ini dimulai pada tahun 2014, dengan seringnya emisi gumpalan abu hingga ratusan meter di atas kawah, aliran piroklastik, dan longsoran lava yang berpijar," tulis Handley. "Tapi letusan hari Sabtu, secara tak terduga, jauh lebih besar daripada latar belakang aktivitas yang sedang berlangsung."
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Eko Budi Lelono, mengatakan badai petir dan hujan terus-menerus telah mengikis sebagian kubah lava Gunung Semeru. Dalam hal ini mengikis "sumbat" lava yang memadat di puncak. Hal ini menyebabkan kubah runtuh sehingga memicu letusan.
Runtuhnya kubah lava adalah pemicu umum letusan gunung berapi. Runtuhnya kubah lava telah menjadi penyebab beberapa letusan paling mematikan dalam sejarah.
Baca Juga: Kisah Pilu Pria yang Gagal Melarikan Diri dari Letusan Vesuvius
"Runtuhnya kubah lava padat yang tidak stabil seperti mengambil bagian atas botol minuman bersoda, menekan sistem dan memicu letusan. Kubah lava terkadang runtuh karena beratnya sendiri saat tumbuh, atau bisa melemah karena kondisi cuaca eksternal, seperti yang terjadi di Gunung Semeru," papar Handley.
"Fakta bahwa letusan hari Sabtu dipicu oleh faktor eksternal, bukan kondisi di dalam gunung berapi, akan membuat peristiwa ini lebih sulit untuk diprediksi," jelasnya lagi.
Pemantauan gunung berapi biasanya bergantung pada tanda-tanda peningkatan gejolak atau gemuruh di dalam gunung berapi. Peningkatan aktivitas gempa bisa menjadi tanda bahwa magma bergerak di bawah tanah.
Tanda peringatan lainnya adalah perubahan suhu atau jenis gas yang dipancarkan. Terkadang, perubahan kecil dalam bentuk gunung berapi atau kubah lava dapat dideteksi di tanah atau dari satelit.
Namun jika penyebab letusan gunung berapi adalah faktor eksternal seperti badai petir dan hujan yang terus-menerus, tanda-tanda peringatan itu jadi sebagian tak ada atau sulit dideteksi sehingga letusannya sulit diprediksi.
Letusan eksplosif fatal lainnya yang sulit diprediksi terjadi pada 2019 di Whakaari (White Island) di Selandia Baru. Peristiwa itu diperkirakan didorong oleh ledakan uap bertekanan dan bukan oleh magma, yang membuatnya sulit untuk diprediksi.
Baca Juga: Studi Terbaru: Gunung Toba Masih Aktif, Letusan Supernya Mengintai
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR