Namun apa yang bisa diajarkan oleh orang Okinawa pada kita di tengah pandemi ini? Mengapa Ogimi dan tempat lain di pulau itu memiliki sejarah umur panjang?
Itu bermuara pada tiga faktor utama—diet, praktik sosial, dan genetika, jelas Craig Willcox, profesor kesehatan masyarakat dan gerontologi di Universitas Internasional Okinawa. Ia mempelajari tentang umur panjang Okinawa sejak 1975.
“Sekitar dua pertiga umur panjang berkaitan dengan pola makan dan gaya hidup, sisanya adalah genetika. Secara umum, Anda memerlukan pendorong roket genetik jika ingin mencapai usia ratusan, bukan hanya diet yang baik,” kata Willcox.
Ia belum melihat apakah Okinawa memiliki keunggulan genetik dibandingkan bagian lain Jepang. Tetapi umur panjang memang diturunkan dalam keluarga di sini.
Selain genetika, diet lebih mudah mengidentifikasi bagaimana penduduk setempat terbagi. Jika pergi ke restoran khas Okinawa di Tokyo atau di Okinawa, Anda akan menemukan banyak menu mengandung babi dan alkohol. Tapi itu tidak mewakili kebiasaan pulau.
Untuk mencegah kanker dan penyakit kardiovaskular, diet Okinawa mengandung lebih dari lima porsi buah dan sayuran sehari. Selain itu juga menggunakan lebih banyak ikan yang menyehatkan jantung daripada daging, kata Willcox.
Baca Juga: Bagaimana Kalau Nenek Kita Mati di Tangan Seorang Pembunuh Berantai?
“Ada ungkapan Okinawa, nuchi gusui, yang bisa diterjemahkan sebagai: biarkan makanan menjadi obatmu,” catatnya. Ubi jalar, pare, makanan laut yang kaya karotenoid adalah anti-penuaan karena mengurangi peradangan dan stres oksidatif.
“Diet tradisional Okinawa juga padat nutrisi, namun rendah kalori, dan itu ideal,” lanjut Willcox. Ia menambahkan bahwa alih-alih nasi putih, ubi jalar menjadi makanan pokok di Okinawa hingga tahun 1960-an.
Pembatasan kalori ini memicu mode bertahan hidup. Seseorang beradaptasi dengan mengubah makanan menjadi energi yang mengaktifkan enzim yang menyebabkan umur panjang.
Kehidupan di pulau-pulau ini berbeda dari sebagian besar wilayah Jepang lainnya. Iklimnya subtropis, dengan musim dingin yang sejuk. Orang Okinawa hidup di tengah keindahan pulau yang indah.
Masyarakat terstruktur sehingga penduduk yang lebih tua mempertahankan tujuan, atau ikigai, dalam hidup mereka. Contohnya di tempat kerajinan lokal menenun tekstil basho-fu. Di tempat ini pembersihan serat dan penggulungan benang yang memakan waktu lama dilakukan oleh kelompok wanita yang lebih tua.
Ini bukan hanya cara untuk tetap aktif secara sosial melainkan memberi para penenun cara untuk menambah penghasilan dan berkontribusi pada ekonomi desa. Basho-fu dijalankan oleh seorang pria berusia 98 tahun.
Lalu ada cara masyarakat menekankan gotong royong melalui moai. Mekanisme sosial Okinawa ini menyatukan kelompok orang dengan minat yang sama, memungkinkan mereka mengembangkan hubungan emosional. Buettner mengatakan bahwa itu adalah elemen penting untuk berumur panjang, kesepian sama buruknya bagi Anda dengan merokok.
Takashi Inafuku, kepala salah satu distrik Ogimi, tergabung dalam dua moai—kelompok teman sekolah dan mantan rekan kerja. “Mereka adalah tempat di mana saya dapat bertukar informasi dan berkomunikasi dengan orang lain,” katanya. Baginya, berpartisipasi dalam moai, memiliki hobi yang sama dan melepaskan stres, dapat membantu meningkatkan umur panjang.
Dukungan dan pelepasan stres itu sangat penting selama masa pandemi ini. Dengan 2.740 kasus COVID-19 di Okinawa pada 12 Oktober, banyak moai yang beradaptasi. Moai dengan kenormalan baru menekankan pada masker wajah, pembersih tangan, dan menghindari apa yang disebut pemerintah "tiga C". Ini adalah ruang tertutup, kontak dekat, dan tempat ramai.
Selain tindakan pencegahan, beberapa moai mulai menerapkan system daring dan bahkan mulai merambah hingga ke luar Jepang. Pertemuan klub virtual yang membantu orang tetap berhubungan.
Pandemi COVID-19 membuat semua orang harus membuat penyesuaian, termasuk penduduk Ogimi. Di masa-masa sulit ini, mereka berusaha untuk melepas stres dengan melakukan kegiatan yang disukai dan saling memperhatikan.
Baca Juga: Di Balik Kisah Onna-Bugeisha, Samurai Wanita Jepang yang Gigih
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR