Kemudian pada tahun 1940-an bersamaan dengan ide Presiden Soekarno membangun universitas di Yogyakarta (UGM), gudeg mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat. Dari sinilah gudeg kering juga mulai hadir.
Keinginan para mahasiswa luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh menghadirkan gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.
Pembangunan kampus UGM di daerah Bulaksumur, juga memunculkan kampung sentra gudeg Mbarek yang berdekatan.
"Karena banyaknya mahasiswa UGM dan mereka perlu makan, maka hadir kampung Mbarek yang di sana banyak penjual gudeg. Keberadaan kampung ini semakin membuat gudeg kering berkembang dengan baik," ungkap Murdijati Gardjito.
Seiring dengan berjalannya waktu, sektor wisata juga semakin berkembang. Hal ini melatarbelakangi pemerintah untuk mengkontruksi sentra gudeg baru, yang berada di Wijilan sekitar tahun 1970-an.
Hingga saat ini gudeg telah menjadi ikon kuliner Yogyakarta, keberadaanya mudah ditemukan di setiap sudut kota Pelajar ini. Gudeg pun telah berkembang dengan baragam varian.
Jenis Gudeg
Secara umum gudeg terbagi dalam dua jenis, yakni gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah adalah gudeg yang proses pengolahannya hanya sampai perebusan sehingga masih berair. Penyajiannya pun menggunakan kuah santan.
Sedang jenis gudeg basah masih harus ada pengolahan lanjutan setelah didapat gudeg basah. Proses lanjutannya berupa penumisan sehingga menjadi kering. Biasanya gudeg ini disajikan dengan beragam lauk, mulai dari tahu-tempe, telur, dan ayam. Tidak ketinggalan juga sambal goreng krecek.
Berdasarkan bahan baku, ada beberapa jenis gudeg. Gudeg gori adalah gudeg yang paling banyak dijumpai, selain itu ada juga gudeg manggar atau bunga kelapa, dan gudeg rebung.
Untuk kedua jenis gudeg terakhir ini tidak banyak yang menjualnya. Di daerah Bantul masih ada beberapa warung makan yang menyediakannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR