Pada tahun 1800-an sebelum Perang Saudara, New York adalah tempat yang berbahaya dan tidak terduga bagi orang kulit hitam Amerika untuk dapat hidup bebas.
Budak buronan telah melarikan diri ke kota selama beberapa dekade, berbaur dengan populasi kecil orang kulit hitam yang bebas (bukan budak) untuk menghindari penangkapan.
Pada tahun 1804, sebagian besar negara bagian utara di Amerika Serikat, telah mengesahkan undang-undang yang mengakhiri perbudakan. Namun orang kulit hitam yang bebas tetap menjadi warga negara kelas dua.
"Kebebasan mereka genting: Pada saat tertentu, mereka dapat ditangkap dan dikembalikan ke pemiliknya atau bahkan dijual kembali sebagai budak," lanjut Anderson.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Ruggles muncul sebagai aktivis kulit hitam (abolisionist) dari kalangan non-budak yang secara terbuka dan blak-blakan, dengan keras menentang supremasi kulit putih di Amerika Serikat.
Baca Juga: Bagaimana Kami Menunjukkan Semua Sisi dalam Perang
"Ruggles memiliki toko kelontong dan toko buku pertama milik orang kulit hitam, yang penuh dengan literatur anti-perbudakan. Dia mendirikan majalahnya sendiri untuk memajukan tujuan abolisionis," imbuhnya.
Ruggles juga merupakan jurnalis investigasi perintis yang menulis tentang orang kulit hitam bebas (bukan dari kalangan budak) yang diculik dan dipaksa untuk menjadi budak. Ia adalah seorang orator berbakat yang mengilhami para pendengarnya untuk peduli pada pembebasan budak.
"Dia berhasil membantu sebanyak 600 orang yang diperbudak untuk melarikan diri dan merengkuh kebebasan," terusnya.
Halaman berikutnya...
Source | : | USA Today |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR