Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerja sama dengan sejumlah pihak, telah memasang cukup banyak alat Landslide Early Warning System (LEWS). Namun, para ahli menyatakan, masyarakatlah faktor utama dalam meminimalkan jatuhnya korban.
LEWS memiliki fungsi utama mengukur pergerakan retakan tanah di perbukitan. Alat ini dilengkapi dengan sensor khusus, yang akan membunyikan sirine ketika tanah retak pada ukuran tertentu. Bekerja sama dengan berbagai pihak,BNPB telah memasang alat ini, di sejumlah wilayah rawan bencana longsor. Salah satu alat itu dikembangkan tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dr. Wahyu Wilopo, geologis dan pakar bencana tanah longsor dari UGM Yogyakarta, bersama timnya telah mengembangkan alat sensor tanah longsor selama sepuluh tahun terakhir. Hingga saat ini, alat yang dipasang di berbagai wilayah itu terbukti mampu memberikan peringatan yang tepat sebelum longsor terjadi. Salah satu yang paling berhasil, adalah yang dipasang di kawasan Karanganyar, Jawa Tengah.
Wahyu mengatakan, keberhasilan alat itu lebih disebabkan faktor masyarakat di kawasan itu.. Alat ini butuh perawatan, dankepedulian masyarakat di sana memungkinkan alat itu beroperasi dengan baik. Tidak mungkin bagi BNPB maupun UGM, mengawasi seluruh peralatan sejenis yang tersebar di banyak wilayah.
“Di Karanganyar itu dari tahun 2007 sampai sekarang itu berjalan terus. Dan kami tidak melakukan apa-apa, mereka dari masing-masing kepala keluarga itu mau iuran satu bulan seribu rupiah untuk biaya perawatan. Itu karena mereka sadar bahwa alat itu melindungi hidup mereka. Namun, tidak hanya sosialisasi tentang tanah longsor, kami juga masyarakat menanami daerah rawan yang gundul. Masyarakat memperoleh keuntungan dari penanaman itu,” ujar Dr. Wahyu Wilopo.
Wahyu menambahkan, lokasi tanah longsor di Purworejo sebenarnya sudah menjadi perhatian timnya. Sekitar tiga minggu yang lalu, alat serupa dipasang di sana, tetapi jaraknya 15 kilometer dari kawasan yang kini terjadi bencana. Jarak tersebut menjadikan alat itu tidak dapat memantau pergerakan tanah sebelum bencana terjadi di daerah itu.
Wahyu menilai, sangat sulit untuk memasang alat dalam jumlah sangat banyak di setiap lokasi rawan longsor. Satu unit alat itu berharga mulai sekitar Rp 3 juta, dan terus bertambah sesuai peningkatan kemampuannya. Untuk mencegah timbulnya korban lebih banyak, karena hujan masih akan turun, dia merekomendasikan ketegasan pemerintah daerah dalam menentukan zona berbahaya yang seharusnya tidak dijadikan wilayah pemukiman.
“Kalau memang di daerah itu rawan terjadi longsor, jangan dikembangkan sebagai daerah pemukiman. Tapi kalau memang sudah ada pemukiman, maka harus kita siapkan kesadaran dan kewaspadaan dari masyarakat disitu. Cuma, sayangkan biasanya kita itu perhatian sekali ketika terjadi bencana, tapi seiring berlalunya waktu, perhatian itu akan hilang,” imbuh Dr. Wahyu Wilopo.
!break!Sutopo Purwo Nugroho, Humas BNPB pernah mengeluarkan pernyataan keprihatinan karena banyaknya alat LEWS yang sengaja dirusak oleh masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena sirine yang dikeluarkan menimbulkan kecemasan dan rasa takut. Kabel pemantau retakan tanah dilepas dan dijadikan jemuran. Kenyataan ini menjadi ironi tersendiri karena lebih dari 40 juta penduduk Indonesia tinggal di kawasan yang rawan bencana tanah longsor.
Dr. Wahyu Wilopo sendiri pernah menghadapi penolakan dari masyarakat ketika akan memasang alat LEWS. Kepada dirinya, masyarakat justru minta diberi uang, dan bukannya alat pemantau yang bisa menyelamatkan nyawa dari bencana itu. Wahyu menekankan, menumbuhkan kesadaran masyarakat memang membutuhkan waktu.
Sementara itu, di Kebumen, Jawa Tengah, sekitar 350 petugas gabungan dari SAR, TNI, Polri, dan masyarakat relawan, masih terus melakukan upaya pencarian korban. Eko Widianto, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencara Daerah Kebumen kepada VOA mengatakan, ada tujuh korban akibat bencana kali ini. Enam korban di kawasan Kecamatan Sempor tertimbun tanah longsor dan satu korban hanyut karena banjir. Eko menambahkan, hingga hari Selasa, penggalian tanah masih dilakukan secara manual. Tidak ada alat berat yang bisa masuk, karena lokasi tanah longsor sangat terpencil. Sempor adalah kawasan perbukitan curam yang membatasi Kebumen dan Banjarnegara.
Menurut catatan BPBD setempat, sebelum ini longsor sering terjadi dalam skala kecil, dan hanya sekadar merusak rumah warga. Kenyataan ini membuat warga sangat sulit untuk diajak lebih peduli bencana. Baru kali ini longsor yang terjadi menelan korban jiwa,.Dia berharap akan timbul kesadaran baru di kalangan masyarakat Kebumen, bahwa mereka tinggal di kawasan rawan bencana.
“Dari data yang ada, Kabupaten Kebumen ini dari 26 kecamatan yang ada, 17 kecamatan rawan longsor dan banjir. Namun, kejadian-kejadian bencana sebelum ini sifatnya kecil, tidak ada yang volume runtuhannya sebesar yang terjadi di Sempor ini. Kadang-kadang, kenyataan itu juga menjadi kendala kami pada saat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan ancaman bencana,” ujar Eko Widianto.
Tim peneliti UGM sudah memasang LEWS di sisi timur kawasan Kebumen. Kawasan tersebut juga rawan tanah longsor. Untuk sementara ini, masyarakat diharapkan bersedia melakukan patroli di perbukitan untuk mengawasi retakan tanah. Jika memang retakan tanah terjadi, masyarakat dihimbau meninggalkan rumah apabila terjadi hujan lebat dalam periode waktu lebih dari empat jam.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR