Nationalgeographic.co.id—Kapten John Smith dari Inggris, tahu tentang kopi dari perjalanannya ke Turki pada 1630, dan memberi tahu rekan-rekan koloninya tentang kopi itu, meskipun kopi itu baru akan tiba di AS pada tahun 1640-an.
Biji kopi sendiri diperkenalkan ke Dunia Baru pada tahun 1723, dan perdagangan kopi berkembang pesat.
The Tea Act of 1773, dimaksudkan untuk menyelamatkan kongsi dagang Britania, East India Company (EIC) yang saat itu mengalami kesulitan keuangan.
Sebagaimana dilansir dari Battlefield, sebelum kemunculan The Tea Act of 1773, melalui Townshend Revenue Act, pemerintahan kolonial mengenakan pajak pada sejumlah barang impor, termasuk teh.
"Kopi dipandang sebagai minuman patriotik di koloni-koloni setelah Pesta Teh Boston, ketika minum teh tidak lagi populer," tulis Rotondi. Ia menulsinya kepada History.
Baca Juga: Minum Kopi dan Teh Turunkan Risiko Strok? Inilah Penjelasannya
Jessica Pearce Rotondi dalam artikelnya berjudul How Coffee Fueled Revolutions—And Revolutionary Ideas, menjelaskan tentang pengaruh kopi dalam kehidupan berdialektika politik dalam sejarah. Artikelnya terbit pada 11 Februari 2020.
Pada saat itu, kedai Amerika menyajikan kopi bersama minuman keras, dan Green Dragon Tavern (kedai kopi) di Boston dijuluki 'Markas Besar Revolusi' oleh Daniel Webster, karena menampung banyak pertemuan Sons of Liberty menjelang dan selama Perang Revolusi.
Umumnya, para penikmat kopi adalah orang Amerika dan bukan dari kalangan penjajah (inggris) yang lebih senang meminum teh. Pertemuan penting para tokoh revolusioner Amerika Serikat, terjadi di bagian kedai paling bawah, atau ruang bawah tanah untuk menghindari sergapan dan penangkapan.
Melalui cangkir-cangkir kopi yang tersaji, harumnya yang menggugah, percakapan bebas tentang politik mengalir sebegitu derasnya. Tak ayal, pergumulan di kedai kopi menjadi bagian dari semangat revolusi.
Sebagaimana dilansir American Battlefield Trust, Sebagian besar rumah-rumah di Amerika, tidak dilengkapi dengan alat untuk menyeduh kopi, sehingga kedai kopi dengan cepat menjadi tempat populer bagi orang-orang dari semua kalangan dan status sosial ekonomi.
Artikelnya berjudul Sip Sip Hurrah! How Coffee Shaped Revolutionary America, menjelaskan tentang diskusi di kedai kopi, tempat mereka berkumpul dan berdiskusi bebas, hingga melahirkan gagasan revolusi.
Baca Juga: Makna Semboyan Liberte, Egalite, Fraternite dalam Budaya Prancis
Pemboikotan teh akhirnya menjadi agenda besar sebagai bentuk perlawanan komoditas penjajah (Inggris). "Boikot teh pun terjadi, dan kopi dengan cepat menggantikan bir sebagai minuman pilihan paling populer sampai saat ini," terangnya.
Gagasan perlawanan dan pemboikotan terhadap kebijakan pemerintah kolonial semakin gencar dibicarakan di kedai kopi. "Ide-ide dan gagasan yang dikemas dalam tulisan, semakin manjur berkat kopi," tulis American Battlefield Trust dalam artikelnya.
"Banyak tokoh revolusioner mulai meninggalkan minuman khas Inggris (teh) demi kopi, terutama setelah Pesta Teh Boston tahun 1773," lanjutnya.
Setelah gagasan dari kedai kopi, para tokoh revolusioner mulai melaju ke pelabuhan, membuang ratusan pon teh Inggris ke pelabuhan Boston, memperkuat cita rasa kopi Amerika semakin populer.
Meminum secangkir kopi, tidak hanya sebagai simbol kebanggaan Amerika, tetapi kedai kopi juga berfungsi sebagai tempat pertemuan penting bagi para revolusioner.
"Bahkan, pembacaan awal Deklarasi Kemerdekaan terjadi di tangga Green Dragon Tavern, di Philadelphia, Pennsylvania," pungkasnya.
Baca Juga: Penamaan 'Amerika' Lahir dari Kesalahan, Vespucci yang Dikenang!
"Dari semangat deklarasi kemerdekaan, nasionalisme bangsa Amerika tumbuh, tumbuh di kedai kopi!" sambung Rotondi.
"Kongres Kontinental Pertama untuk masalah kenegaraan di selenggarakan melalui suatu pertemuan di sana (kedai kopi Green Dragon Tavern)," tutupnya.
Banyak dari Founding Fathers Ameria Serikat yang dulunya merupakan para tokoh revolusioner, berkumpul di kedai kopi. Mereka menanam benih demokrasi sementara mereka bersekongkol berkat secangkir kopi.
Source | : | History,American Battlefield Trust |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR