Anak-anak itu lahir dan tumbuh kembang di tepi laut. Gulungan ombak ibarat teman bermain. Di laut mereka menyaksikan orangtua mencari nafkah. Sayangnya, hamparan samudra itu menjauh dari imajinasi mereka. Bagi mereka, laut tak menjanjikan masa depan.
Inilah kisah buram kampung nelayan di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kedekatan fisik dengan laut ternyata tidak menumbuhkan semangat bahari pada anak-anak setempat.
Angga (13) tanpa ragu menggelengkan kepala saat ditanya apakah dia nanti mau jadi nelayan seperti ayahnya. Siswa kelas I Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Ishlah, Tembokrejo, Muncar, itu berujar, "Tidak enak jadi nelayan. Saya mau jadi guru."
Sikap serupa ditampakkan Faiz Firdaus (14), siswa kelas II MTs Muncar. Bahkan, ayahnya yang nelayan dan memiliki kapal mewanti-wantinya untuk tidak melirik laut sebagai pilihan. "Bapak bilang, kerja di kantoran itu sukses," ujar Faiz, sembari mengamati dari kejauhan ibunya menjemur ikan.
Faiz yang ditemui pertengahan April lalu juga belum pernah merasakan berlayar ke laut bersama ayahnya karena tidak pernah diajak. Dia pun tidak tertarik untuk ikut serta melaut bersama ayahnya. Apalagi, saat terang bulan, ayahnya menganggur. Ini lazim disebut masa paceklik, ketika ikan pun sulit ditangkap.
Jika anak-anak nelayan saja tidak tertarik mewarisi pekerjaan orangtuanya, apalagi anak-anak yang orangtuanya bekerja di bidang lain. Sebut misalnya Fani (12). Ayahnya tukang mebel dan ibunya seorang guru. Siswa madrasah ibtidaiyah ini sama sekali tak tertarik mencari nafkah di laut meski gemar bermain kapal-kapalan di laut.
"Di laut itu banyak kejadian. Ada yang kena perahu. Pernah juga ada mayat tenggelam. Tidak enak di laut," ujar Fani.
Sama dengan lingkungan keluarga, sekolah pun tak menumbuhkan imajinasi bahari bagi anak-anak itu. Bangunan sekolah yang hanya sepelempar batu dari laut tak menunjukkan tanda-tanda atmosfer kelautan.
Tengoklah Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Kedungringin, Muncar, yang sebagian besar siswanya anak-anak dari nelayan pencari tiram. Pajangan di dinding kelas berupa kreasi siswa tidak menjejakkan nuansa laut. Siswa lebih banyak memilih menggambar tokoh kartun yang terkenal di layar kaca. Di perpustakaan sekolah yang lebih dipenuhi buku pelajaran, terselip satu buku soal hewan laut. Buku itu juga tersembunyi di antara buku-buku bacaan fiksi.
Siswoyo, guru SDN itu, mengatakan, dahulu anak-anak memang selalu menggambar pantai, laut, ikan, atau perahu. Bahkan, nama perahu persis seperti yang dimiliki orangtuanya. Seiring berjalan waktu, anak-anak mulai suka gambar kartun di televisi. Pengenalan kehidupan darat pun dirasakan penting bagi siswa untuk bisa siap menghadapi perubahan zaman.
Kebanyakan siswa enggan menjadi nelayan atau pelaut. Mereka lebih tertarik bekerja di darat yang lebih aman. Anak laki-laki memilih menjadi tentara. Itu pun tentara di darat. Yang perempuan menjadi guru, perawat, atau dokter. Ketika ditanya adakah yang ingin kerja di laut, serempak terdengar jawaban, "Emoh (tak mau)...!"
Tanda-tanda ada murid berminat kerja di laut baru muncul saat wali kelas VA, Dewi Julaika, memancing imajinasi. Itu pun dengan penekanan sebagai "saudagar".
Aril Gigih Prasetya, anak nelayan, berkeinginan menjadi juragan darat. Maksudnya, dia mau membeli ikan tangkapan nelayan dan menjual ke pasar atau pihak lain.
Dalam benak anak-anak, laut bukanlah kehidupan. Padahal, Muncar dikenal sebagai sentra usaha perikanan. Di sini berjajar pabrik pengalengan ikan, pembuatan tepung, ataupun perusahaan gudang berpendingin (cold storage).
Mujinas Al Mudji Haryani, guru kelas III, mengatakan, sekolahnya sempat menerapkan Kurikulum 2013. Saat itulah, sekolah mulai melirik daerah pesisir sebagai sumber belajar. Anak-anak mulai diajak keluar kelas untuk mengenal jenis-jenis ikan, terumbu karang, ataupun hutan mangrove.
Di kalangan nelayan tradisional pesisir Banyuwangi, sekolah pendidikan formal bukan jaminan hidup lebih baik. "Sekolah tak memberikan jaminan hidup sukses sebagai nelayan," kata Ridiyanto (45), nelayan yang dikenal juga sebagai juragan.
Kebetulan, saat itu David Heryawan (27) dan Andre Prasetyo (28), dua anak buah Ridiyanto, berada di dekatnya. Keduanya merupakan anak putus SD yang tidak fasih membaca dan menulis.
"Di atas kertas saya tidak bisa menghitung, tetapi saya bisa menghitung uang," kata Andre.
Pandangan beragam
Nelayan memiliki kacamata beragam dalam memandang pendidikan, terlepas itu formal ataupun nonformal. Di bagian pesisir Banyuwangi lainnya, tepatnya di Bangsring, ditemukan perspektif lain. Sukirno (41), nelayan penangkap ikan hias untuk dijual ke Bali, memandang pendidikan sebagai jalan mencapai kehidupan lebih baik. Sukirno bersama beberapa nelayan Bangsring pada 2008 akhirnya membuat kelompok Samudera Bahari, yang hingga sekarang terus mengupayakan perbaikan terumbu karang di Pantai Bangsring.
Kelompok nelayan ini terlibat dalam berbagai kegiatan konservasi, misalnya pencangkokan terumbu karang. Sumber pencarian para nelayan sedikit demi sedikit bergeser pada usaha wisata. Terbuka peluang nafkah alternatif di saat paceklik.
Pada 2014, kelompok nelayan ini mendapat bantuan rumah apung oleh pemerintah pusat. Saat ini, rumah apung itu memiliki beberapa jaring untuk karamba apung yang menampung sembilan ikan hiu kecil. Ini menjadi daya tarik wisata.
Dengan sentuhan pendidikan, wawasan nelayan itu terbuka luas. Mereka menjaga laut sebagai mata pencarian.
(Versi asli artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2016, di halaman 1 dengan judul "Ketika Laut Menjauh dari Imajinasi")
Penulis | : | |
Editor | : | test |
KOMENTAR