Setelah 10 menit menenun yang menenangkan, kami berjalan menyeberangi jalan, Orathai mengikuti, hingga sampai ke tempat dengan beberapa wanita sedang memasak sesuatu yang manis dari wajan raksasa yang berada di atas kayu bakar yang dijilati api.
Pemandu memberitahu saya bahwa mereka sedang membuat khao mao, cemilan tradisional. Mereka mencampurkan sejumlah besar santan, gula merah, beras yang dihancurkan kasar, dan kacang tanah yang ditumbuk menjadi cemilan lengket nan manis dan buru-buru mengemasnya ke dalam kemasan plastik bening.
Orathai melompat untuk membantu, kemudian menjatuhkan segumpal cemilan hangat di tangan saya. “Untukmu,” katanya dalam Bahasa Inggris.
“Sekarang gratis, tetapi Anda harus membayar setelah kami membungkusnya.”
Rasanya enak. Saya membeli sebungkus besar dengan harga kurang dari satu dolar, dan mengudapnya hingga seminggu ke depan.
Kami melanjutkan bersepeda melewati kuil Buddha dan rumah kecil. Di sana, saya bertemu lelaki tua berumur 89 tahun yang bertelanjang dada. Namanya Ta Wong, ia dikenal sebagai penjual mainan balok kayu.
Dia menunjukkan bagaimana cara kerja mainan. Dengan meremas dengan lembut dua pegangan datar yang mendorong patung pesenam di atas balok. Ta Wong menunjukkan sekitar 12 macam gerakan yang bisa ia buat. Saya membeli satu mainan seharga tujuh dolar.
Kembali ke pusat komunitas, saya segera mendapat pelajaran singkat dari ciri khas lokal lainnya: khao poep, sup kaldu yang terbuat dari kacang hijau, mie, taoge, selada, bawang putih dan telur kukus mata sapi yang tersebar di periuk tanah liat berisi air mendidih.
Saya membuat sendiri makan siang saya dalam waktu beberapa menit, dan menyantapnya bersama semangkuk kuaytiaw Sukhothai. Sup mie beras agak manis dengan daging babi. Keduanya amat lezat, dan harganya sekitar 25 baht.
Setelah makan siang, anak perempuan Ngiem mengajak kami berkendara dengan truk bak terbuka miliknya. Saya dan ngiem berdiri di bak belakang. Seusai melewati sungai, pemandangan menjadi lebih hijau dan liar. Kami melewati pohon-pohon karet dan tanaman lain ketika jalan menanjak bukit. Saya melihat seseorang tengah tidur siang di sebuah pondok panggung terbuka, tetapi sebagian besar yang kami lintasi adalah rumah-rumah pedesaan.
Sekitar 20 menit kemudian, kami tiba di sebuah rumah panggung baru—homestay baru dijadwalkan akan segera dibuka. Ini benar-benar tempat yang indah. Melangkah ke rumah, terdapat hammock yang menghadap ruangan kecil dengan tempat tidur beralas tikar dan kelambu. Ruangan itu menghadap dek terbuka yang menampilkan puncak bukit dengan hutan dan pertanian subur. Tampak berbagai tanaman seperti labu, kacang panjang, jeruk Bali, kelengkeng, cabai, rambutan dan terong.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR