Superbug telah mengklaim sekitar 700.000 jiwa secara global setiap tahunnya, serta menyebabkan krisis kesehatan yang jauh lebih mematikan. Dalam beberapa perkiraan, kematian yang terkait superbug dapat menjamur hingga 10 juta kematian per tahun pada 2050, lebih banyak dari kanker.
Superbug telah menjadi penyebab sejumlah besar infeksi seperti pneumonia, keracunan darah, TBC, dan gonorrhea lebih sulit untuk diobati dengan antibiotik yang sudah ada. Persebaran superbug yang membawa genetik resisten antibiotik tersebut dapat lolos dari deteksi biasa seperti kasus yang muncul di Timur Tengah. Di samping itu, sebuah superbug baru telah ditemukan baru-baru ini.
“Kemungkinan terburuk yang terjadi pada infeksi yang biasanya dapat diobati menjadi tidak dapat diobati adalah ancaman utama bagi kesehatan manusia saat ini dan di masa depan,” kata Zomawi yang mengembangkan tes diagnostik yang dapat mempersingkat waktu dalam mengidentifikasi bakteri hanya dalam waktu 3-4 jam. Sebelumnya, hal ini membutuhkan waktu selama tiga hari.
Hal tersebut berpotensi dalam membantu dokter untuk menargetkan infeksi bakteri lebih cepat dan mengobati dengan cara yang lebih tepat daripada menggunakan metodologi trial and error atau resep antibiotik ketika tidak diperlukan.
Uji Kecepatan Superbug milik Zowawi ini dapat mencari bakteri untuk gen yang membuat enzim beta-laktamase, dan memungkinkan bakteri tersebut untuk menghancurkan antibiotik seperti penisilin dan carbapenems.Dia juga mengidentifikasi sebuah tes yang dapat menemukan bakteri rentan untuk mengembangkan resistensi antibiotik.
Pendidikan juga merupakan kunci, kata Zowawi. World Antibiotic Awareness Week pada November 16 hingga 20 adalah sebuah Kampanye WHO yang dirancang untuk mempromosikan penggunaan cerdas antibiotik. Kegiatan ini dilakukan meningkatkan kesadaran terhadap adanya resistensi antibiotik, dan mempromosikan langkah dasar untuk mencegah infeksi ,seperti mencuci tangan secara menyeluruh dengan sabun.
Zowawi juga berencana untuk melanjutkan peringatan publik terhadap superbug dan berharap dapat mencapai 15 negara pada 2017. Di banyak bagian dunia, antibiotik banyak tersedia meskipun tanpa resep dokter. Hal semacam itu memungkinkan masyarakat memilih antibiotik yang salah atau memilih antibiotik yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh mereka. “Promosi dan pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kesadaran terhadap adanya antibiotik resistensi bakteri,” katanya.
Ketika sedang berada dalam sebuah praktik dalam klinik di rumah sakit Jeddah, Zowawi mulai mempelajari pasien yang terifeksi bakteri antibiotik-resisten. Beberapa dari pasien tersebut menjalani pemeriksaan rutin dan menangkap bakteri tersebut, beberapa lagi semakin parah dan kemudian meninggal.
“Hal terakhir yang mereka butuhkan adalah memperoleh perawatan khusus dari rumah sakit, karena infeksi tersebut dapat menyebabkan cacat atau kematian,”kata Zowawi yang saat ini sedang menempuh gelar Doktor di University of Queensland, Australia.
Zowawi mengatakan bahwa untuk melawan superbug akan membutuhkan upaya super yang lebih dari sekedar penelitian dan pendidikan.
"Bahkan jika kita memiliki antibiotik baru, bakteri akan mencari cara untuk mengatasinya, \'\' katanya. "Tapi saya optimis bahwa kita bisa mengatasi ini."
--------------
National Geographic memproduksi konten ini sebagai bagian dari kemitraan dengan Rolex Awards for Enterprise.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | |
Editor | : | endah trisulistiowaty |
KOMENTAR