Sukamade dikenal sebagai pangkalan utama penyu laut bertelur di pesisir selatan Banyuwangi, Jawa Timur.
Sore itu, Eko Nurjiyanto datang tergopoh-gopoh menenteng sekarung telur. Dia menaruhnya di hamparan petak penetasan. “Ini dari dua sarang,” ujarnya kepada Wartono, yang bersiap menggali pasir.
Tangan Wartono cekatan menggangsir pasir di rumah penetasan, Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Dua keping papan memberi tanda: nomer, jenis penyu, jumlah telur dan tanggal pemendaman.
Butir-butir sebesar bola pingpong itu lantas berpindah, dari karung ke liang sarang. Sesore itu masih saja ditemukan sarang penyu hijau (Chelonia mydas). “Mungkin dia terlambat bertelur,” tutur Wartono.
Berselimut kesunyian, pada dunia-bawah pasir petak penetasan berdesakan benih penyu hijau. Dalam diam, telur-telur itu berdetak, dan suatu waktu menetas meramaikan semesta raya.
Ada empat petak penetasan: dua petak sengaja dikosongkan, dua petak lain menyimpan ribuan telur. “Setelah dua kali penetasan pasir diganti,” terang Wartono, yang telah bekerja 20 tahun sebagai peminak penyu.
Di permukaan pasir, berdiri papan-papan ‘identitas’ telur. Berderet rapi. Hampir semua sang induk berjenis penyu hijau. Di sebelah galian Wartono, pada papan identitas tertera nama si pemendam: Trixi, dari Jerman, dan Dom dari Kanada. Simbol dua hati tercantum pula.
Sejoli ini agaknya sedang kasmaran. Seratus sembilan belas telur penyu hijau yang dipendam itu beruntung: tanda cinta kekasih beda bangsa ini. “Kemarin mereka datang, pulang tadi pagi,” jelas Wartono. Kami sempat berpapasan di jalan dengan dua orang asing itu.
Pengunjung memang bisa turut menggali dan memendam telur penyu yang dikumpulkan para pengelola Sukamade. Tak hanya mendengar dan melihat, upaya pelestarian reptil samudera ini dipraktikkan langsung.
Tentu saja, ada kaidah-kaidah yang mesti dituruti para pengunjung. Misalnya, “Kalau mengamati penyu bertelur harus sunyi, dan tidak boleh menyalakan lampu,” terang Didin Plamboyan, pengelola Sukamade.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR