Keragaman seni ,budaya, dan sejarah senantiasa hidup mewarnai Yogyakarta. Dusun Sompok berada tepat di samping Sungai Oya. Dusun itu dikelilingi oleh bukit, sawah dan ladang warga. Selain kehidupan sosial yang masih sangat harmonis, Dusun Sompok juga memiliki tradisi budaya yang beragam, mulai dari tradisi khas tanah Jawa yakni wayang,karawitan, gamelan, gejog lesung, hingga Jathilan.
Seorang penggerak budaya dan pengajar Universitas Gadjah Mada, Muslikh Madiyant, merasa perlu mengadakan pelestarian tradisi masyarakat Jawa di dusun ini. Bersama dengan Global Culture Institute dan Dinas Pariwisata Yogyakarta, ia menciptakan sebuah festival budaya yang bertajuk Festival Sewu Kitiran. Tujuan utamanya, meningkatkan ekonomi dan pariwisata.
“Festival Sewu Kitiran adalah pesta rakyat yang berlokasi di dusun Sompok yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kemandirian wisata desa yang memiliki lingkungan alam yang masih otentik. Sebagai contoh, alamnya yang berbukit , memiliki tebing-tebing, serta air terjun dan susunan terasering sawah, tidak lupa pula dialiri oleh sungai Oyo,” kata Agil Zulkarnaen selaku ketua panitia Festival Sewu Kitiran III yang diselenggarakan pada 20 November silam.
Meskipun baru tiga kali diselenggarakan, festival ini terbukti menjadi salah satu sarana hiburan bagi warga Dusun Sompok dan sekitarnya. Festival ini juga sudah membawa nama Dusun Sompok lebih dikenal secara luas oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya.
“Pada Festival Sewu Kitiran I, kami melibatkan sivitas akademika Sekolah Vokasi UGM dan hasilnya cukup menarik. Antara masyarkat lokal, sivitas akademika dan pemerintah daerah memiliki pemahaman yang sama bahwa pengenalan perayaan budaya dalam bentuk festival, adalah bentuk yang memadai bagi suatu valorisasi kekayaan budaya dan alam untuk tujuan pengembangan ekonomi kreatif,” ujar Agil.
Pemilihan nama sewu kitiran bukanlah tanpa alasan. Menurut pencetus festival ini, kata sewu memiliki arti seribu, sekaligus bermakna simbolik yang mewakili kekuatan. Sedangkan kitiran atau kincir angin diambil dari budaya setempat yang dahulu kala sering menggunakan kitiran untuk mengusir hama burung di sawah-sawah mereka. Saat tertiup angin, kincir akan menghasilkan suara yang mengejutkan dan mengusir hama burung.
Setiap tahunnya, Festival Sewu Kitiran menggelar berbagai lomba, mulai dari lomba kitiran, masak tiwul, gejog lesung dan fotografi. Tahun ini lomba ditambah dengan lomba mewarnai layang-layang dan melukis gerabah khusus untuk anak-anak sekolah dasar.
Festival Sewu Kitiran dibuka dengan pawai bocah dengan membawa mainan kitiran. Mereka berbsuana seragam batik sekolah, dan berbaris sambil memainkan kitiran dengan tangannya. Acara dimeriahkan dengan penampilan gejog lesung dari para Ibu rumah tangga seraya menyambut datangnya para petinggi Dinas Pariwisata dan Kecamatan.
“Festival seperti ini tentu dapat meningkatkan minat pariwisata di Dusun Sompok, selain itu, antusiasme warga sangat tinggi terhadap acara semacam ini. Kedepannya, saya berharap bahwa festival semacam ini dapat terus bertambah,” menurut Bambang Legowo selaku pimpinan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantul, Yogyakarta.
Suasana Festival menjadi semakin meriah ketika banyaknya kitiran yang ditanamkan beberapa hari sebelumnya di persawahan milik warga tertiup oleh semilir angin. Warga pun ikut berpartisipasi dalam lomba membuat kitiran.
Setelah pawai kitiran, anak-anak berkumpul dan menempatkan diri untuk mengikuti lomba melukis gerabah dan mewarnai layang-layang. Semua peralatan telah disediakan oleh panitia. Senyum ceria dan wajah polos peserta yang sedang mengikuti lomba semakin menambah keseruan terselenggaranya festival ini.
Festival ini juga dimeriahkan dengan beberapa penampilan seni dan budaya seperti, Gejog Lesung, tari Edan-edanan, tari Kitiran, Pencak Rancak, Tari Ni Thowong, Topeng Jathilan, dan juga karawitan. Karena festival ini bersamaan dengan acara JIHW atau Jogja Heritage International Walk, pihak panitia menarik perhatian para peserta pejalan kaki dari manca negara. Warga mengucapkan selamat datang dengan sambutan tari Edan-edanan. Tari ini menampilkan sepasang pria dan wanita yang berdandan mencolok dan jenaka dengan maksud menolak bala atau berharap tidak ada sesuatu hal buruk yang akan terjadi.
Acara ditutup dengan penampilan dan hiburan yang paling dinantikan warga, yakni Tari Topeng Jathilan . Tarian ini mengisahkan para kesatria berkuda yang bertempur untuk melawan kekacauan. Tradisi ini menyerupai tarian dari India atau Persia Kuno yang dilakukan untuk menjauhkan bencana pada sekitar 500 Sebelum Masehi. Beberapa penari kerasukan roh halus, yang menambah daya magnet keelokan dan kemistisannya.
Antusiasme warga tak terputus hingga akhir acara, banyak harapan dari para peserta lomba yang ingin kalau acara seperti ini diadakan lagi pada tahun depan.
Penulis | : | |
Editor | : | endah trisulistiowaty |
KOMENTAR