Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku dan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) melepasliarkan 117 ekor burung paruh bengkok di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, Kamis, (15/12) lalu.
Burung yang dilepasliarkan tersebut terdiri dari 40 ekor Burung Kakatua putih (Cacatua alba), 28 ekor Nuri bayan (Eclectus roratus) dan 49 ekor Burung Kasturi Ternate (Lorius garrulus). Satwa-satwa ini diperoleh Seksi Konservasi Wilayah I Ternate dari operasi penegakan hukum untuk mengurangi perburuan, penyelundupan, dan pemeliharaan ilegal satwa liar.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Ternate, Lilian Komaling, menyatakan bahwa kegiatan pelepasliaran ini merupakan salah satu upaya agar ekosistem dan populasi ketiga spesies burung tersebut tetap terjaga dengan baik.
“Pelepasliaran burung kami lakukan di Halmahera Selatan karena kawasan ini merupakan habitat alami Burung Nuri bayan, Kakatua putih dan Kasturi Ternate,” kata Lilian.
Burung Nuri bayan telah dilindungi oleh UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan masuk dalam daftar Lampiran Jenis Tumbuhan dan Satwa dilindungi pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.
Penegakan hukum terhadap para pelaku kejahatan terhadap satwa liar bisa terlaksana berkat peran kepolisian yang giat melakukan kegiatan antisipasi, deteksi dan koordinasi dengan pihak BKSDA. “Kami juga menindaklanjuti setiap kasus sampai dengan penyerahan berkas ke kejaksaan sebagai bentuk keseriusan Polri dalam menindak pelaku pelanggaran aturan tentang lingkungan hidup dan ekosistemnya,” ujar Kapolres Ternate, AKBP Kamal Bahtiar.
Ketiga jenis burung tersebut merupakan burung endemik Indonesia dan memiliki sebaran di Indonesia bagian timur seperti Pulau Morotai, Halmahera, Bacan, Obi, Ternate dan Tidore. Menurut Daftar Merah IUCN 2016, Kakatua putih sudah masuk dalam kategori terancam (endangered), sedangkan Burung Kasturi Ternate termasuk dalam kategori rentan (vulnerable) dan Burung Nuri bayan masih dalam kategori risiko rendah (least concern). Namun perburuan dan perdagangan yang tidak terkendali dapat menyebabkan menurunnya populasi burung-burung tersebut di alam liar.
Dwi Adhiasto, Wildlife Trade Program Manager WCS-IP mengungkapkan bahwa burung-burung tersebut tidak hanya diperdagangkan di pasar domestik saja, namun juga ke mancanegara. Jalur utama yang diketahui adalah menuju ke Filipina melalui pelabuhan laut di Sulawesi Utara dan Maluku Utara.
“Meskipun ketiga spesies tersebut masuk dalam daftar CITES Appendix II yang artinya dapat diperdagangkan secara legal di pasar internasional, tetapi diharuskan melalui pengaturan yang ketat. Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan kuota nol terhadap ekspor burung dari alam ke luar negeri, yang artinya aktivitas pengiriman burung dari tangkapan liar keluar negeri adalah ilegal,” jelasnya.
Untuk memastikan kondisi kesehatan dan menghindari penularan penyakit, burung-burung tersebut telah diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan dari Balai Karantina Hewan Kelas II Ternate. Dari 173 ekor yang diajukan oleh Seksi Konservasi Wilayah I Ternate, yang siap untuk dilepasliarkan hanya 117 ekor saja, sedangkan sisanya masih harus menjalani rehabilitasi selama beberapa waktu lagi hingga siap dilepasliarkan kembali ke alam.
Country Director WCS-IP, Noviar Andayani, mengapresiasi aksi pelepasliaran yang dilakukan oleh Seksi Konservasi Wilayah I Ternate di habitat alami satwa tersebut. Ia mengatakan bahwa tim gabungan telah memastikan kesehatan burung-burung tersebut hingga betul-betul siap kembali ke alam.
“Bekerjasama dengan LIPI, kami telah menandai burung tersebut dengan sistem pemasangan ring sehingga kami dapat memonitor kelangsungan hidup burung-burung tersebut di habitatnya,” jujar Noviar.
Sementara itu, Ketua Konservasi Kakatua Indonesia (KKI), Dudi Nandika, berpendapat, proses pelepasliaran satwa sebaiknya dilakukan dengan cara \'soft release\'. Semua burung paruh bengkok yang dilepasliarkan telah melalui proses seleksi. Proses tersebut memerlukan beberapa tahapan, yakni test kesehatan, proses rehabilitasi dan proses habituasi di habitat aslinya.
“Proses habituasi ini akan dibutuhkan untuk penyesuaian satwa dengan kondisi lingkungan dan pemberian pakan alami. Pada proses ini pula dikurangi kontak langsung dengan manusia seminimal mungkin, agar insting liarnya kembali,” tutur Dudi.
Sebagian dari satwa tersebut merupakan hasil sitaan dari kasus penyelundupan burung yang terjadi di Pelabuhan Ahmad Yani, Ternate, 30 Juli 2016 silam. Penyelundupan tersebut digagalkan oleh Polres Ternate dan Polisi Kehutanan SKW I Ternate BKSDA Maluku. Dengan modus menitipkan satwa ke satpam KM Doloronda, Polisi menyita 45 ekor Burung Kakatua putih, 57 ekor Burung Nuri bayan dan empat ekor Burung Kasturi Ternate. Sementara bulan Mei silam, penyelundupan dari Desa Ranga-ranga, Halmahera Selatan menuju Filipina, juga berhasil digagalkan oleh anggota polisi air Polda Maluku Utara. Dari situ, petugas berhasil menyita 56 kakatua putih, 159 nuri bayan, 3 nuri ternate, dan seekor perkici. Saat ini, kedua kasus penyelundupan tersebut telah diproses secara hukum.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR