Sama seperti kepedulian ketika melihat pencurian, kejahatan terhadap satwa liar sama pentingnya untuk diperhatikan. Saat kita menjumpai berita kasus korupsi dan berita lainnya tentang kejahatan terhadap satwa, berita mana yang akan kita kaji lebih kritis?
Jawaban kita adalah keduanya.
Kesadaran Penegak Hukum untuk Melindungi Satwa Nusantara
Apa yang ada di benak penegak hukum kita saat melihat satu harimau sumatra mati, atau menyaksikan tiga ton trenggiling siap dijual?
Oleh Amalia Nanda
Suatu waktu, kita melihat dua berita dilayar gawai cerdas kita. Satu berita tentang pesohor yang menjadi tersangka korupsi, sementara satu lagi tentang perdagangan ilegal satwa liar. Berita mana yang akan kita pilih untuk dibaca?
Mungkin berita yang cepat menarik perhatian dan menjadi kabar hangat di media sosial adalah berita pertama .
Inilah salah satu alasan yang mendorong diadakannya Diskusi Publik Laporan Terkini Kejahatan Terhadap Satwa Liar di Indonesia. Diskusi ini diadakan oleh Wildlife Crime Unit (WCU) dari Wildlife Conservation Society (WCS)—organisasi non-profit yang memiliki misi konservasi lingkungan. Selain pihak dari WCU, diskusi juga dihadiri perwakilan dari lembaga-lembaga yang memerangi kejahatan terhadap satwa liar, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bareskrim Polri, Tentara Nasional Indonesia, dan Kejaksaan.
Ada banyak faktor yang menjadi kendala pelestarian satwa liar, termasuk berkurangnya habitat dan perburuan liar. Masalah berkurangnya habitat satwa liar akibat pembangunan mungkin bisa dikendalikan dengan mengubah undang-undang tentang tata ruang, misalnya. Namun perubahan seperti ini membutuhkan proses yang lama, sementara ada banyak kejahatan terhadap satwa liar yang jumlahnya makin meningkat.
“Satwa liar yang dilindungi sangat rentan dengan perdagangan liar,” jelas Istanto, Dirjen Pencegahan & Pengamanan Hutan sebagai perwakilan dari KLHK.
Data dari WCS menunjukkan bahwa kasus perdagangan satwa liar ilegal meningkat hingga empat kali lipat dari tahun 2010. Salah satu kasus besar terjadi pada pertengahan 2016 lalu, dimana ditemukan 5 ton trenggiling di Medan untuk diperdagangkan secara ilegal ke berbagai negara. Modus kejahatan terhadap satwa juga semakin beragam hingga menyentuh ranah dunia maya.
Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih menjadi patokan dalam vonis kejahatan terhadap satwa liar. Penerapan hukuman kejahatan adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun, hal ini tidak membawa para pelaku menjadi jera.
“Kami pernah menemukan kasus dengan pelaku yang kembali melakukan kejahatan yang sama,” jelas Dwi Adhiasto selaku Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU).
Institusi ini merupakan unit khusus anti perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar yang dibentuk pada 2003 dan berkontribusi dalam membantu aparat melakukan penegakan hukum. Sepanjang 2016, WCU ikut berpartisipasi mengungkap kejahatan terhadap satwa liar dalam 52 kasus.
Dari 52 kasus yang diungkap aparat bersama WCU, 90 persennya berhasil sampai ke meja pengadilan. Sebanyak 28 kasus sedang dalam proses penyidikan atau persidangan, 19 kasus sampai dengan vonis, 4 kasus mendapat sanksi administrasi, dan 1 kasus dikentikan karena bukti belum kuat. Persoalannya adalah vonis yang dijatuhkan. WCU menyebutkan bahwa rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada pelaku sebesar 1-10 bulan penjara dan denda antara Rp11-50 juta.
Apakah undang-undang yang berlaku masih dianggap layak pada besaran maksimum hukuman? Pada kenyataannya vonis hukum yang selama ini diputuskan umumnya masih berada di bawah hukuman maksimum. Perkiraan dari WCU, 20 persen dari para pelaku akan kembali melakukan kejahatan serupa, mengingat keuntungan yang mereka raih dari hasil perdagangan satwa liar ini bisa jauh melebihi dari denda maksimum yang ditetapkan undang-undang.
Tantangan proses peradilan hingga vonis
Tantangan terkait peradilan ini menjadi kendala besar bagi aparat penegak hukum. Dalam beberapa aspek, tindak pidana kejahatan terhadap satwa liar merupakan kasus khusus yang dalam prosesnya sendiri cukup unik, seperti yang dijelaskan oleh Kombes Suwondo Nainggolan dari Bareskrim Polri. Ia memulai pembicaraan ini tentang kendala yang dihadapi oleh kepolisian.
“Ini adalah kejujuran yang harus kami sampaikan,” ujar Suwondo. “Ada faktor kurangnya pengetahuan dan kemauan aparat penegak hukum dalam mengungkap perdagangan satwa liar secara komprehensif.”
Bagaimana vonis dijatuhkan itu berawal dari penyidik, yakni kepolisian. Alur sederhananya adalah polisi melakukan penyidikan—materi penyidikan termasuk barang bukti nantinya akan diserahkan kepada jaksa untuk dipelajari. Jaksa akan mempelajari materi terkait kasus tersebut untuk dibawa ke meja sidang dan bertanding dalam persidangan. Berdasarkan paparan jaksa dan materi yang terkait dalam sidang, barulah hakim yang akan menentukan vonis.
“Vonis penjara satu atau dua tahun, atau seumur hidup, ditentukan dari bukti. Di sini, penyidik harus mampu menggali cerita atau fakta secara detail sehingga jaksa mempunayai kepercayaan diri untuk menuntut dengan tinggi dan hakim bisa mengerti,” ujar Suwondo.
Mencari bukti dan dan fakta secara detail membutuhkan pengetahuan dan perhatian mendalam tentang kasus yang diusut. Jika penyidik belum memiliki pengetahuan akan satwa liar terutama yang dilindungi, maka pelatihan dan sosialisasi kepada penyidik bisa ditingkatkan. Namun, penyerapan dan penerapannya harus diawali dari kepedulian terhadap kasus ini, dan Suwondo mengakui bahwa tingkat kepedulian aparat terhadap kasus satwa liar masih rendah dibandingkan terhadap kasus lainnya.
Sebagai catatan, kejahatan terorganisir terbesar di dunia adalah perdagangan narkoba, penggelapan senjata, perdagangan orang, sedangkan perdagangan ilegal satwa liar berada di posisi ke empat.
“Saya lama berada di bidang penyidikan terkait orang, keamanan negara, perdagangan orang, dan korupsi,” ungkap Suwondo. “Bisa jadi karena kami sendiri memang masih berada dalam taraf itu, sementara ini (perdagangan ilegal satwa) adalah kejahatan keempat.”
Kesadaran Penegak Hukum untuk Melindungi Satwa Nusantara
Apa yang ada di benak penegak hukum kita saat melihat satu harimau sumatra mati, atau menyaksikan tiga ton trenggiling siap dijual?
Oleh Amalia Nanda
Suatu waktu, kita melihat dua berita dilayar gawai cerdas kita. Satu berita tentang pesohor yang menjadi tersangka korupsi, sementara satu lagi tentang perdagangan ilegal satwa liar. Berita mana yang akan kita pilih untuk dibaca?
Mungkin berita yang cepat menarik perhatian dan menjadi kabar hangat di media sosial adalah berita pertama .
Inilah salah satu alasan yang mendorong diadakannya Diskusi Publik Laporan Terkini Kejahatan Terhadap Satwa Liar di Indonesia. Diskusi ini diadakan oleh Wildlife Crime Unit (WCU) dari Wildlife Conservation Society (WCS)—organisasi non-profit yang memiliki misi konservasi lingkungan. Selain pihak dari WCU, diskusi juga dihadiri perwakilan dari lembaga-lembaga yang memerangi kejahatan terhadap satwa liar, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bareskrim Polri, Tentara Nasional Indonesia, dan Kejaksaan.
Ada banyak faktor yang menjadi kendala pelestarian satwa liar, termasuk berkurangnya habitat dan perburuan liar. Masalah berkurangnya habitat satwa liar akibat pembangunan mungkin bisa dikendalikan dengan mengubah undang-undang tentang tata ruang, misalnya. Namun perubahan seperti ini membutuhkan proses yang lama, sementara ada banyak kejahatan terhadap satwa liar yang jumlahnya makin meningkat.
“Satwa liar yang dilindungi sangat rentan dengan perdagangan liar,” jelas Istanto, Dirjen Pencegahan & Pengamanan Hutan sebagai perwakilan dari KLHK.
Data dari WCS menunjukkan bahwa kasus perdagangan satwa liar ilegal meningkat hingga empat kali lipat dari tahun 2010. Salah satu kasus besar terjadi pada pertengahan 2016 lalu, dimana ditemukan 5 ton trenggiling di Medan untuk diperdagangkan secara ilegal ke berbagai negara. Modus kejahatan terhadap satwa juga semakin beragam hingga menyentuh ranah dunia maya.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR