Suatu waktu, kita melihat dua berita di layar gawai cerdas kita. Satu berita tentang pesohor yang menjadi tersangka korupsi, sementara satu lagi tentang perdagangan ilegal satwa liar. Berita mana yang akan kita pilih untuk dibaca?
Mungkin berita yang cepat menarik perhatian dan menjadi kabar hangat di media sosial adalah berita pertama .
Inilah salah satu alasan yang mendorong diadakannya Diskusi Publik Laporan Terkini Kejahatan Terhadap Satwa Liar di Indonesia. Diskusi ini diadakan oleh Wildlife Crime Unit (WCU) dari Wildlife Conservation Society (WCS)—organisasi non-profit yang memiliki misi konservasi lingkungan. Selain pihak dari WCU, diskusi juga dihadiri perwakilan dari lembaga-lembaga yang memerangi kejahatan terhadap satwa liar, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bareskrim Polri, Tentara Nasional Indonesia, dan Kejaksaan.
Ada banyak faktor yang menjadi kendala pelestarian satwa liar, termasuk berkurangnya habitat dan maraknya perburuan liar. Masalah berkurangnya habitat satwa liar akibat pembangunan mungkin bisa dikendalikan dengan mengubah undang-undang tentang tata ruang, misalnya. Namun perubahan seperti ini membutuhkan proses yang lama, sementara ada banyak kejahatan terhadap satwa liar yang jumlahnya makin meningkat.
Data dari WCS menunjukkan bahwa kasus perdagangan satwa liar ilegal meningkat hingga empat kali lipat dari tahun 2010.
“Satwa liar yang dilindungi sangat rentan dengan perdagangan liar,” jelas Istanto, Dirjen Pencegahan & Pengamanan Hutan sebagai perwakilan dari KLHK.
Data dari WCS menunjukkan bahwa kasus perdagangan satwa liar ilegal meningkat hingga empat kali lipat dari tahun 2010. Salah satu kasus besar terjadi pada pertengahan 2016 lalu, dimana ditemukan 5 ton trenggiling di Medan untuk diperdagangkan secara ilegal ke berbagai negara. Modus kejahatan terhadap satwa juga semakin beragam hingga menyentuh ranah dunia maya.
Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih menjadi patokan dalam vonis kejahatan terhadap satwa liar. Penerapan hukuman kejahatan adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun, hal ini tidak membuat para pelaku menjadi jera.
“Kami pernah menemukan kasus dengan pelaku yang kembali melakukan kejahatan yang sama,” jelas Dwi Adhiasto selaku Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU).
Institusi ini merupakan unit khusus anti perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar yang dibentuk pada 2003 dan berkontribusi dalam membantu aparat melakukan penegakan hukum. Sepanjang 2016, WCU ikut berpartisipasi mengungkap kejahatan terhadap satwa liar dalam 52 kasus.
“Kami pernah menemukan kasus dengan pelaku yang kembali melakukan kejahatan yang sama,” jelas Dwi Adhiasto selaku Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU).
Dari 52 kasus yang diungkap aparat bersama WCU, 90 persennya berhasil sampai ke meja pengadilan. Sebanyak 28 kasus sedang dalam proses penyidikan atau persidangan, 19 kasus sampai dengan vonis, 4 kasus mendapat sanksi administrasi, dan 1 kasus dikentikan karena bukti belum kuat. Persoalannya adalah vonis yang dijatuhkan. WCU menyebutkan bahwa rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada pelaku sebesar 1-10 bulan penjara dan denda antara Rp11-50 juta.
Apakah undang-undang yang berlaku masih dianggap layak pada besaran maksimum hukuman? Pada kenyataannya vonis hukum yang selama ini diputuskan umumnya masih berada di bawah hukuman maksimum. Perkiraan dari WCU, 20 persen dari para pelaku akan kembali melakukan kejahatan serupa, mengingat keuntungan yang mereka raih dari hasil perdagangan satwa liar ini bisa jauh melebihi dari denda maksimum yang ditetapkan undang-undang.
Tantangan proses peradilan hingga vonis
Tantangan terkait peradilan ini menjadi kendala besar bagi aparat penegak hukum. Dalam beberapa aspek, tindak pidana kejahatan terhadap satwa liar merupakan kasus khusus yang dalam prosesnya sendiri cukup unik, seperti yang dijelaskan oleh Kombes Suwondo Nainggolan dari Bareskrim Polri. Ia memulai pembicaraan ini tentang kendala yang dihadapi oleh kepolisian.
“Ini adalah kejujuran yang harus kami sampaikan,” ujar Suwondo. “Ada faktor kurangnya pengetahuan dan kemauan aparat penegak hukum dalam mengungkap perdagangan satwa liar secara komprehensif.”
Bagaimana vonis dijatuhkan itu berawal dari penyidik, yakni kepolisian. Alur sederhananya adalah polisi melakukan penyidikan—materi penyidikan termasuk barang bukti nantinya akan diserahkan kepada jaksa untuk dipelajari. Jaksa akan mempelajari materi terkait kasus tersebut untuk dibawa ke meja sidang dan bertanding dalam persidangan. Berdasarkan paparan jaksa dan materi yang terkait dalam sidang, barulah hakim yang akan menentukan vonis.
“Vonis penjara satu atau dua tahun, atau seumur hidup, ditentukan dari bukti. Di sini, penyidik harus mampu menggali cerita atau fakta secara detail sehingga jaksa mempunayai kepercayaan diri untuk menuntut dengan tinggi dan hakim bisa mengerti,” ujar Suwondo.
Mencari bukti dan dan fakta secara detail membutuhkan pengetahuan dan perhatian mendalam tentang kasus yang diusut. Jika penyidik belum memiliki pengetahuan akan satwa liar terutama yang dilindungi, maka pelatihan dan sosialisasi kepada penyidik bisa ditingkatkan. Namun, penyerapan dan penerapannya harus diawali dari kepedulian terhadap kasus ini, dan Suwondo mengakui bahwa tingkat kepedulian aparat terhadap kasus satwa liar masih rendah dibandingkan terhadap kasus lainnya.
Sebagai catatan, kejahatan terorganisir terbesar di dunia adalah perdagangan narkoba, penggelapan senjata, perdagangan orang—sedangkan perdagangan ilegal satwa liar berada di posisi ke empat.
“Saya lama berada di bidang penyidikan terkait orang, keamanan negara, perdagangan orang, dan korupsi,” ungkap Suwondo. “Bisa jadi karena kami sendiri memang masih berada dalam taraf itu, sementara ini [perdagangan ilegal satwa] adalah kejahatan keempat.”
“Saya lama berada di bidang penyidikan terkait orang, keamanan negara, perdagangan orang, dan korupsi,” ungkap Suwondo. “Bisa jadi karena kami sendiri memang masih berada dalam taraf itu, sementara ini [perdagangan ilegal satwa] adalah kejahatan keempat.”
Ada cerita menarik di balik kasus tiga ton trenggiling yang ditemukan di Jambi pada November 2016. Ketika itu Suwondo turut membantu dalam proses penyidikan. Ia bercerita, mulanya, kepolisian melakukan penyelidikan terkait kasus narkoba. “Saat mengumpulkan barang bukti, kami menemukan trenggiling. Saat itu kami berpikir, untuk apa trenggiling ini?” paparnya.
Pengetahuan yang minim tentang satwa liar mengharuskan aparat di lokasi untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang lebih tahu di bidang satwa liar. Setelah ditinjau, terungkaplah perdagangan ilegal trenggiling.
Cerita tersebut mengarahkan pada kepedulian aparat yang mulanya bukan pada rangka penangkapan kejahatan terhadap satwa. Kesadaran kepolisian akan kurangnya kepedulian terhadap kasus satwa liar mendorong lembaga ini untuk mempelajari lebih dalam akan pengetahuan satwa. Suwondo mengusulkan, ke depannya, tidak hanya aparatur pada tataran teknis yang perlu sosialisasi. Perlu ada sosialisasi pada pimpinan kepolisian untuk memberikan perhatian pada kasus satwa liar.
“Saat saya menjadi Kapolres,” kenang Suwondo, “tidak pernah sekalipun saya memberikan pengarahan tentang kasus satwa liar. Padahal, jika saya sampaikan, maka yang lainnya pun akan bergerak. Memang perlu ada pandangan di kepala pimpinan untuk memecahkan masalah ini.”
Hal serupa terkait pengetahuan tentang satwa liar juga disetujui oleh perwakilan dari kejaksaan. “Dalam membuktikan suatu perkara, perlu ahli. Tidak sesederhana bahwa apakah satwa ini dilindungi atau tidak,” ujarnya. “Kita harus meyakinkan pengadilan bahwa perkara ini memang sungguh-sungguh melanggar pidana.”
Kejaksaan mamahami ini dan melaksanakan pelatihan-pelatihan terkait kasus satwa liar. Juga ada wacana bekerjasama dengan WCS untuk memasukkan materi-materi ini ke dalam pusdiklat kejaksaan.
Perdagangan ilegal satwa terorganisir antarnegara dan dunia maya
Perdagangan ilegal satwa liar juga ditemui di dunia maya. WCU menyebutkan bahwa 40 persen kejahatan satwa liar adalah perdagangan satwa ilegal yang dilakukan secara daring. Kedok pelaku ditutupi oleh pengakuan sebagai komunitas pencinta satwa. Mengungkap praktik perdagangan ilegal di dunia maya juga lebih sulit karena penting bagi penyidik untuk mendapatkan bukti fisik.
WCU telah bekerjasama dengan beberapa media sosial untuk dapat mengidentifikasi dan menghapus akun-akun yang memuat perdagangan satwa. Pihak kepolisian sendiri memiliki unit kejahatan dunia maya yang diwacanakan untuk menjadi dirjen sendiri sehingga penanganan kasus perdagangan satwa ilegal di dunia maya bisa berjalan lebih fokus.
Pada kasus yang rumit hingga melibatkan jaringan internasional, seringnya aparat penegak hukum hanya bisa menyentuh hingga level distributor yang merupakan masyarakat umum.
Pelaku kejahatan terhadap satwa liar juga melibatkan kelompok-kelompok yang saling bahu-membahu dalam beraksi. Hal ini tidak lepas dari besaran transaksi yang bisa mencapai triliunan rupiah. Perdagangan ini juga dilakukan antarnegara, dengan skema paling sederhana adalah koneksi dengan pembeli. Kadal tanpa telinga dari Borneo sempat marak diperjualbelikan hingga ke Jerman. Pelaku kejahatan di Jerman juga menyalurkan satwa ini ke pembeli lain di negara sekitarnya, termasuk Swiss dan Rusia. Insang pari manta dijual besar-besaran untuk dikirimkan ke Tiongkok sebagai bahan obat tradisional. Begitu pula dengan trenggiling, yang selain dagingnya untuk dikonsumsi, sisiknya diduga menjadi bahan untuk membuat narkoba.
Pada kasus yang rumit hingga melibatkan jaringan internasional, seringnya aparat penegak hukum hanya bisa menyentuh hingga level distributor yang merupakan masyarakat umum. Lebih rumit lagi, jika perdagangan bagian-bagian tubuh satwa yang dilakukan ilegal telah masuk ke pasar-pasar satwa. Gading gajah afrika, misalnya, sedang marak dijual di Indonesia. Celakanya, Indonesia telah menjadi target besar pasar jaringan internasional perdagangan ilegal.
Kesadaran perlindungan satwa liar dan upaya penegakan hukum
Saat vonis dijatuhkan, hakim menilai dengan barang bukti dan keyakinannya bahwa pelaku telah melanggar pidana.
“Katakanlah, seorang hakim telah menjatuhkan vonis lima tahun penjara pada kasus pembunuhan orang. Kemudian ia menghadapi kasus satu harimau mati atau dua trenggiling mati. Vonis seperti apa yang ia harus jatuhkan?” Suwondo menggambarkan psikologi hakim dalam menangani persidangan.
Hakim akan memutuskan berdasarkan bukti sehingga di sini peran penyidik dan jaksa untuk memberikan keyakinan pada hakim bahwa ketika seekor harimau mati misalnya, dapat mewakili habitat atau ekosistem secara keseluruhan, dan vonis kepada pelaku dapat dijatuhkan semaksimum mungkin, sehingga efek jera semakin kuat dirasakan bagi para pelaku kejahatan.
“Seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk mendapat pemahaman,” tambah Suwondo.
Kerjasama antarlembaga—baik kepolisian, kejaksaan, KLHK, dan organisasi terkait—sudah semestinya ditingkatkan dalam perihal perlindungan satwa selama proses hukum berlangsung. Kepolisian menyatakan terdapat kasus tatkala satwa yang disita oleh aparat malah mati akibat kurangnya pengetahuan aparat dan sarana selama proses hukum berlangsung. WCU menyarankan agar terdapat kesepakatan antarlembaga tadi untuk melepasliarkan satwa hidup yang diperdagangkan—jika pakar merekomendasikan satwa tadi layak lepas liar. Barang bukti berupa bagian tubuh satwa atau satwa yang telah mati untuk segera dimusnahkan mengingat nilainya yang masih sangat besar dan berisiko mendorong kejahatan kembali.
Bukan hanya pemerintah dan aparat penegak hukum yang memerlukan kesadaran untuk memburu kejahatan terhadap satwa liar, tetapi peran masyarakat juga menjadi corong utama bagi aparat untuk mendapatkan informasi.
Sama seperti kepedulian ketika melihat pencurian, kejahatan terhadap satwa liar sama pentingnya untuk diperhatikan. Saat kita menjumpai berita kasus korupsi dan berita lainnya tentang kejahatan terhadap satwa, berita mana yang akan kita kaji lebih kritis?
Jawaban kita adalah keduanya.
Kesadaran Penegak Hukum untuk Melindungi Satwa Nusantara
Apa yang ada di benak penegak hukum kita saat melihat satu harimau sumatra mati, atau menyaksikan tiga ton trenggiling siap dijual?
Oleh Amalia Nanda
Suatu waktu, kita melihat dua berita dilayar gawai cerdas kita. Satu berita tentang pesohor yang menjadi tersangka korupsi, sementara satu lagi tentang perdagangan ilegal satwa liar. Berita mana yang akan kita pilih untuk dibaca?
Mungkin berita yang cepat menarik perhatian dan menjadi kabar hangat di media sosial adalah berita pertama .
Inilah salah satu alasan yang mendorong diadakannya Diskusi Publik Laporan Terkini Kejahatan Terhadap Satwa Liar di Indonesia. Diskusi ini diadakan oleh Wildlife Crime Unit (WCU) dari Wildlife Conservation Society (WCS)—organisasi non-profit yang memiliki misi konservasi lingkungan. Selain pihak dari WCU, diskusi juga dihadiri perwakilan dari lembaga-lembaga yang memerangi kejahatan terhadap satwa liar, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bareskrim Polri, Tentara Nasional Indonesia, dan Kejaksaan.
Ada banyak faktor yang menjadi kendala pelestarian satwa liar, termasuk berkurangnya habitat dan perburuan liar. Masalah berkurangnya habitat satwa liar akibat pembangunan mungkin bisa dikendalikan dengan mengubah undang-undang tentang tata ruang, misalnya. Namun perubahan seperti ini membutuhkan proses yang lama, sementara ada banyak kejahatan terhadap satwa liar yang jumlahnya makin meningkat.
“Satwa liar yang dilindungi sangat rentan dengan perdagangan liar,” jelas Istanto, Dirjen Pencegahan & Pengamanan Hutan sebagai perwakilan dari KLHK.
Data dari WCS menunjukkan bahwa kasus perdagangan satwa liar ilegal meningkat hingga empat kali lipat dari tahun 2010. Salah satu kasus besar terjadi pada pertengahan 2016 lalu, dimana ditemukan 5 ton trenggiling di Medan untuk diperdagangkan secara ilegal ke berbagai negara. Modus kejahatan terhadap satwa juga semakin beragam hingga menyentuh ranah dunia maya.
Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih menjadi patokan dalam vonis kejahatan terhadap satwa liar. Penerapan hukuman kejahatan adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun, hal ini tidak membawa para pelaku menjadi jera.
“Kami pernah menemukan kasus dengan pelaku yang kembali melakukan kejahatan yang sama,” jelas Dwi Adhiasto selaku Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU).
Institusi ini merupakan unit khusus anti perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar yang dibentuk pada 2003 dan berkontribusi dalam membantu aparat melakukan penegakan hukum. Sepanjang 2016, WCU ikut berpartisipasi mengungkap kejahatan terhadap satwa liar dalam 52 kasus.
Dari 52 kasus yang diungkap aparat bersama WCU, 90 persennya berhasil sampai ke meja pengadilan. Sebanyak 28 kasus sedang dalam proses penyidikan atau persidangan, 19 kasus sampai dengan vonis, 4 kasus mendapat sanksi administrasi, dan 1 kasus dikentikan karena bukti belum kuat. Persoalannya adalah vonis yang dijatuhkan. WCU menyebutkan bahwa rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada pelaku sebesar 1-10 bulan penjara dan denda antara Rp11-50 juta.
Apakah undang-undang yang berlaku masih dianggap layak pada besaran maksimum hukuman? Pada kenyataannya vonis hukum yang selama ini diputuskan umumnya masih berada di bawah hukuman maksimum. Perkiraan dari WCU, 20 persen dari para pelaku akan kembali melakukan kejahatan serupa, mengingat keuntungan yang mereka raih dari hasil perdagangan satwa liar ini bisa jauh melebihi dari denda maksimum yang ditetapkan undang-undang.
Tantangan proses peradilan hingga vonis
Tantangan terkait peradilan ini menjadi kendala besar bagi aparat penegak hukum. Dalam beberapa aspek, tindak pidana kejahatan terhadap satwa liar merupakan kasus khusus yang dalam prosesnya sendiri cukup unik, seperti yang dijelaskan oleh Kombes Suwondo Nainggolan dari Bareskrim Polri. Ia memulai pembicaraan ini tentang kendala yang dihadapi oleh kepolisian.
“Ini adalah kejujuran yang harus kami sampaikan,” ujar Suwondo. “Ada faktor kurangnya pengetahuan dan kemauan aparat penegak hukum dalam mengungkap perdagangan satwa liar secara komprehensif.”
Bagaimana vonis dijatuhkan itu berawal dari penyidik, yakni kepolisian. Alur sederhananya adalah polisi melakukan penyidikan—materi penyidikan termasuk barang bukti nantinya akan diserahkan kepada jaksa untuk dipelajari. Jaksa akan mempelajari materi terkait kasus tersebut untuk dibawa ke meja sidang dan bertanding dalam persidangan. Berdasarkan paparan jaksa dan materi yang terkait dalam sidang, barulah hakim yang akan menentukan vonis.
“Vonis penjara satu atau dua tahun, atau seumur hidup, ditentukan dari bukti. Di sini, penyidik harus mampu menggali cerita atau fakta secara detail sehingga jaksa mempunayai kepercayaan diri untuk menuntut dengan tinggi dan hakim bisa mengerti,” ujar Suwondo.
Mencari bukti dan dan fakta secara detail membutuhkan pengetahuan dan perhatian mendalam tentang kasus yang diusut. Jika penyidik belum memiliki pengetahuan akan satwa liar terutama yang dilindungi, maka pelatihan dan sosialisasi kepada penyidik bisa ditingkatkan. Namun, penyerapan dan penerapannya harus diawali dari kepedulian terhadap kasus ini, dan Suwondo mengakui bahwa tingkat kepedulian aparat terhadap kasus satwa liar masih rendah dibandingkan terhadap kasus lainnya.
Sebagai catatan, kejahatan terorganisir terbesar di dunia adalah perdagangan narkoba, penggelapan senjata, perdagangan orang, sedangkan perdagangan ilegal satwa liar berada di posisi ke empat.
“Saya lama berada di bidang penyidikan terkait orang, keamanan negara, perdagangan orang, dan korupsi,” ungkap Suwondo. “Bisa jadi karena kami sendiri memang masih berada dalam taraf itu, sementara ini (perdagangan ilegal satwa) adalah kejahatan keempat.”
Kesadaran Penegak Hukum untuk Melindungi Satwa Nusantara
Apa yang ada di benak penegak hukum kita saat melihat satu harimau sumatra mati, atau menyaksikan tiga ton trenggiling siap dijual?
Oleh Amalia Nanda
Suatu waktu, kita melihat dua berita dilayar gawai cerdas kita. Satu berita tentang pesohor yang menjadi tersangka korupsi, sementara satu lagi tentang perdagangan ilegal satwa liar. Berita mana yang akan kita pilih untuk dibaca?
Mungkin berita yang cepat menarik perhatian dan menjadi kabar hangat di media sosial adalah berita pertama .
Inilah salah satu alasan yang mendorong diadakannya Diskusi Publik Laporan Terkini Kejahatan Terhadap Satwa Liar di Indonesia. Diskusi ini diadakan oleh Wildlife Crime Unit (WCU) dari Wildlife Conservation Society (WCS)—organisasi non-profit yang memiliki misi konservasi lingkungan. Selain pihak dari WCU, diskusi juga dihadiri perwakilan dari lembaga-lembaga yang memerangi kejahatan terhadap satwa liar, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bareskrim Polri, Tentara Nasional Indonesia, dan Kejaksaan.
Ada banyak faktor yang menjadi kendala pelestarian satwa liar, termasuk berkurangnya habitat dan perburuan liar. Masalah berkurangnya habitat satwa liar akibat pembangunan mungkin bisa dikendalikan dengan mengubah undang-undang tentang tata ruang, misalnya. Namun perubahan seperti ini membutuhkan proses yang lama, sementara ada banyak kejahatan terhadap satwa liar yang jumlahnya makin meningkat.
“Satwa liar yang dilindungi sangat rentan dengan perdagangan liar,” jelas Istanto, Dirjen Pencegahan & Pengamanan Hutan sebagai perwakilan dari KLHK.
Data dari WCS menunjukkan bahwa kasus perdagangan satwa liar ilegal meningkat hingga empat kali lipat dari tahun 2010. Salah satu kasus besar terjadi pada pertengahan 2016 lalu, dimana ditemukan 5 ton trenggiling di Medan untuk diperdagangkan secara ilegal ke berbagai negara. Modus kejahatan terhadap satwa juga semakin beragam hingga menyentuh ranah dunia maya.
Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih menjadi patokan dalam vonis kejahatan terhadap satwa liar. Penerapan hukuman kejahatan adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun, hal ini tidak membawa para pelaku menjadi jera.
“Kami pernah menemukan kasus dengan pelaku yang kembali melakukan kejahatan yang sama,” jelas Dwi Adhiasto selaku Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU).
Institusi ini merupakan unit khusus anti perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar yang dibentuk pada 2003 dan berkontribusi dalam membantu aparat melakukan penegakan hukum. Sepanjang 2016, WCU ikut berpartisipasi mengungkap kejahatan terhadap satwa liar dalam 52 kasus.
Dari 52 kasus yang diungkap aparat bersama WCU, 90 persennya berhasil sampai ke meja pengadilan. Sebanyak 28 kasus sedang dalam proses penyidikan atau persidangan, 19 kasus sampai dengan vonis, 4 kasus mendapat sanksi administrasi, dan 1 kasus dikentikan karena bukti belum kuat. Persoalannya adalah vonis yang dijatuhkan. WCU menyebutkan bahwa rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada pelaku sebesar 1-10 bulan penjara dan denda antara Rp11-50 juta.
Apakah undang-undang yang berlaku masih dianggap layak pada besaran maksimum hukuman? Pada kenyataannya vonis hukum yang selama ini diputuskan umumnya masih berada di bawah hukuman maksimum. Perkiraan dari WCU, 20 persen dari para pelaku akan kembali melakukan kejahatan serupa, mengingat keuntungan yang mereka raih dari hasil perdagangan satwa liar ini bisa jauh melebihi dari denda maksimum yang ditetapkan undang-undang.
Tantangan proses peradilan hingga vonis
Tantangan terkait peradilan ini menjadi kendala besar bagi aparat penegak hukum. Dalam beberapa aspek, tindak pidana kejahatan terhadap satwa liar merupakan kasus khusus yang dalam prosesnya sendiri cukup unik, seperti yang dijelaskan oleh Kombes Suwondo Nainggolan dari Bareskrim Polri. Ia memulai pembicaraan ini tentang kendala yang dihadapi oleh kepolisian.
“Ini adalah kejujuran yang harus kami sampaikan,” ujar Suwondo. “Ada faktor kurangnya pengetahuan dan kemauan aparat penegak hukum dalam mengungkap perdagangan satwa liar secara komprehensif.”
Bagaimana vonis dijatuhkan itu berawal dari penyidik, yakni kepolisian. Alur sederhananya adalah polisi melakukan penyidikan—materi penyidikan termasuk barang bukti nantinya akan diserahkan kepada jaksa untuk dipelajari. Jaksa akan mempelajari materi terkait kasus tersebut untuk dibawa ke meja sidang dan bertanding dalam persidangan. Berdasarkan paparan jaksa dan materi yang terkait dalam sidang, barulah hakim yang akan menentukan vonis.
“Vonis penjara satu atau dua tahun, atau seumur hidup, ditentukan dari bukti. Di sini, penyidik harus mampu menggali cerita atau fakta secara detail sehingga jaksa mempunayai kepercayaan diri untuk menuntut dengan tinggi dan hakim bisa mengerti,” ujar Suwondo.
Mencari bukti dan dan fakta secara detail membutuhkan pengetahuan dan perhatian mendalam tentang kasus yang diusut. Jika penyidik belum memiliki pengetahuan akan satwa liar terutama yang dilindungi, maka pelatihan dan sosialisasi kepada penyidik bisa ditingkatkan. Namun, penyerapan dan penerapannya harus diawali dari kepedulian terhadap kasus ini, dan Suwondo mengakui bahwa tingkat kepedulian aparat terhadap kasus satwa liar masih rendah dibandingkan terhadap kasus lainnya.
Sebagai catatan, kejahatan terorganisir terbesar di dunia adalah perdagangan narkoba, penggelapan senjata, perdagangan orang, sedangkan perdagangan ilegal satwa liar berada di posisi ke empat.
“Saya lama berada di bidang penyidikan terkait orang, keamanan negara, perdagangan orang, dan korupsi,” ungkap Suwondo. “Bisa jadi karena kami sendiri memang masih berada dalam taraf itu, sementara ini (perdagangan ilegal satwa) adalah kejahatan keempat.”
Ada cerita menarik di balik kasus tiga ton trenggiling yang ditemukan di Jambi pada November 2016. Ketika itu Suwondo turut membantu dalam proses penyidikan. Ia bercerita, mulanya, kepolisian melakukan penyelidikan terkait kasus narkoba. “Saat mengumpulkan barang bukti, kami menemukan trenggiling. Saat itu kami berpikir, untuk apa trenggiling ini?” paparnya.
Pengetahuan yang minim tentang satwa liar mengharuskan aparat di lokasi untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang lebih tahu di bidang satwa liar. Setelah ditinjau, terungkaplah perdagangan ilegal trenggiling.
Cerita tersebut mengarahkan pada kepedulian aparat yang mulanya bukan pada rangka penangkapan kejahatan terhadap satwa. Kesadaran kepolisian akan kurangnya kepedulian terhadap kasus satwa liar mendorong lembaga ini untuk mempelajari lebih dalam akan pengetahuan satwa. Suwondo mengusulkan, ke depannya, tidak hanya aparatur pada tataran teknis yang perlu sosialisasi. Perlu ada sosialisasi pada pimpinan kepolisian untuk memberikan perhatian pada kasus satwa liar.
“Saat saya menjadi Kapolres,” kenang Suwondo, “tidak pernah sekalipun saya memberikan pengarahan tentang kasus satwa liar. Padahal, jika saya sampaikan, maka yang lainnya pun akan bergerak. Memang perlu ada pandangan di kepala pimpinan untuk memecahkan masalah ini.”
Hal serupa terkait pengetahuan tentang satwa liar juga disetujui oleh perwakilan dari kejaksaan. “Dalam membuktikan suatu perkara, perlu ahli. Tidak sesederhana bahwa apakah satwa ini dilindungi atau tidak,” ujarnya. “Kita harus meyakinkan pengadilan bahwa perkara ini memang sungguh-sungguh melanggar pidana.”
Kejaksaan mamahami ini dan melaksanakan pelatihan-pelatihan terkait kasus satwa liar. Juga ada wacana bekerjasama dengan WCS untuk memasukkan materi-materi ini ke dalam pusdiklat kejaksaan.
Perdagangan ilegal satwa terorganisir antarnegara dan dunia maya
Perdagangan ilegal satwa liar juga ditemui di dunia maya. WCU menyebutkan bahwa 40 persen kejahatan satwa liar adalah perdagangan satwa ilegal yang dilakukan secara daring. Kedok pelaku ditutupi oleh pengakuan sebagai komunitas pencinta satwa. Mengungkap praktik perdagangan ilegal di dunia maya juga lebih sulit karena penting bagi penyidik untuk mendapatkan bukti fisik.
WCU telah bekerjasama dengan beberapa media sosial untuk dapat mengidentifikasi dan menghapus akun-akun yang memuat perdagangan satwa. Pihak kepolisian sendiri memiliki unit kejahatan dunia maya yang diwacanakan untuk menjadi dirjen sendiri sehingga penanganan kasus perdagangan satwa ilegal di dunia maya bisa berjalan lebih fokus.
Pelaku kejahatan terhadap satwa liar juga melibatkan kelompok-kelompok yang saling bahu-membahu dalam beraksi. Hal ini tidak lepas dari besaran transaksi yang bisa mencapai triliunan rupiah. Perdagangan ini juga dilakukan antarnegara, dengan skema paling sederhana adalah koneksi dengan pembeli. Kadal tanpa telinga dari Borneo sempat marak diperjualbelikan hingga ke Jerman. Pelaku kejahatan di Jerman juga menyalurkan satwa ini ke pembeli lain di negara sekitarnya, termasuk Swiss dan Rusia. Insang Pari Manta dijual besar-besaran untuk dikirimkan ke China sebagai bahan obat tradisional. Begitu pula dengan trenggiling yang selain dagingnya untuk dikonsumsi, sisiknya diduga menjadi bahan untuk membuat narkoba.
Pada kasus yang rumit hingga melibatkan jaringan internasional, seringnya aparat penegak hukum hanya bisa menyentuh hingga level distributor yang merupakan masyarakat umum. Lebih rumit lagi, jika perdagangan bagian-bagian tubuh satwa yang dilakukan ilegal telah masuk ke pasar-pasar satwa. Gading gajah Afrika misalnya, sedang marak dijual di Indonesia. Indonesia menjadi target besar pasar jaringan internasional perdagangan ilegal karena tidak ada undang-undang perlindungan satwa yang dilindungi oleh negara lain. Pelacakan dan penyidikan untuk membawa kasus ke meja sidang menjadi lebih sulit.
Kesadaran perlindungan satwa liar dan upaya penegakan hukum
Saat vonis dijatuhkan, hakim menilai dengan barang bukti dan keyakinannya bahwa pelaku telah melanggar pidana.
“Katakanlah, seorang hakim telah menjatuhkan vonis lima tahun penjara pada kasus pembunuhan orang. Kemudian ia menghadapi kasus satu harimau mati atau dua trenggiling mati. Vonis seperti apa yang ia harus jatuhkan?” Suwondo menggambarkan psikologi hakim dalam menangani persidangan.
Hakim akan memutuskan berdasarkan bukti sehingga di sini peran penyidik dan jaksa untuk memberikan keyakinan pada hakim bahwa ketika seekor harimau mati misalnya, dapat mewakili habitat atau ekosistem secara keseluruhan, dan vonis kepada pelaku dapat dijatuhkan semaksimum mungkin, sehingga efek jera semakin kuat dirasakan bagi para pelaku kejahatan.
“Seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk mendapat pemahaman,” tambah Suwondo.
Kerjasama antarlembaga, baik kepolisian, kejaksaan, KLHK, dan organisasi terkait mesti ditingkatkan dalam perihal perlindungan satwa selama proses hukum berlangsung. Kepolisian menyatakan ada kasus dimana satwa yang disita oleh aparat malah mati karena kurangnya pengetahuan aparat dan sarana untuk menjaga hewan selama proses hukum berlangsung. WCU sendiri menyarankan agar ada kesepakatan antara KLHK, kepolisian, dan kejaksaan untuk dapat melepasliarkan satwa hidup yang diperdagangkan jika rekomendasi dari pakar satwa adalah layak lepas liar. Sementara barang bukti berupa bagian tubuh satwa atau satwa yang telah mati untuk segera dimusnahkan mengingat nilainya yang masih sangat besar dan dikhawatirkan berisiko mendorong kejahatan.
Bukan hanya pemerintah dan aparat penegak hukum yang memerlukan kesadaran untuk memburu kejahatan terhadap satwa liar, tetapi juga peran masyarakat pun menjadi corong utama bagi aparat untuk mendapatkan informasi.
Sama seperti kepedulian ketika melihat pencurian, kejahatan terhadap satwa liar sama pentingnya untuk diperhatikan. Jika kita menemukan akun media sosial yang memperjualbelikan satwa, bagaimana reaksi kita? Apabila kita mengenali bahwa satwa yang diperjualbelikan adalah satwa yang dilindungi, apakah kita akan melaporkan ketidaklayakan akun tersebut di media sosial?
Saat kita menjumpai berita kasus korupsi dan berita lainnya tentang kejahatan terhadap satwa, berita mana yang akan kita kaji lebih kritis?
Jawaban kita adalah keduanya.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR