Suatu waktu, kita melihat dua berita di layar gawai cerdas kita. Satu berita tentang pesohor yang menjadi tersangka korupsi, sementara satu lagi tentang perdagangan ilegal satwa liar. Berita mana yang akan kita pilih untuk dibaca?
Mungkin berita yang cepat menarik perhatian dan menjadi kabar hangat di media sosial adalah berita pertama .
Inilah salah satu alasan yang mendorong diadakannya Diskusi Publik Laporan Terkini Kejahatan Terhadap Satwa Liar di Indonesia. Diskusi ini diadakan oleh Wildlife Crime Unit (WCU) dari Wildlife Conservation Society (WCS)—organisasi non-profit yang memiliki misi konservasi lingkungan. Selain pihak dari WCU, diskusi juga dihadiri perwakilan dari lembaga-lembaga yang memerangi kejahatan terhadap satwa liar, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bareskrim Polri, Tentara Nasional Indonesia, dan Kejaksaan.
Ada banyak faktor yang menjadi kendala pelestarian satwa liar, termasuk berkurangnya habitat dan maraknya perburuan liar. Masalah berkurangnya habitat satwa liar akibat pembangunan mungkin bisa dikendalikan dengan mengubah undang-undang tentang tata ruang, misalnya. Namun perubahan seperti ini membutuhkan proses yang lama, sementara ada banyak kejahatan terhadap satwa liar yang jumlahnya makin meningkat.
Data dari WCS menunjukkan bahwa kasus perdagangan satwa liar ilegal meningkat hingga empat kali lipat dari tahun 2010.
“Satwa liar yang dilindungi sangat rentan dengan perdagangan liar,” jelas Istanto, Dirjen Pencegahan & Pengamanan Hutan sebagai perwakilan dari KLHK.
Data dari WCS menunjukkan bahwa kasus perdagangan satwa liar ilegal meningkat hingga empat kali lipat dari tahun 2010. Salah satu kasus besar terjadi pada pertengahan 2016 lalu, dimana ditemukan 5 ton trenggiling di Medan untuk diperdagangkan secara ilegal ke berbagai negara. Modus kejahatan terhadap satwa juga semakin beragam hingga menyentuh ranah dunia maya.
Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih menjadi patokan dalam vonis kejahatan terhadap satwa liar. Penerapan hukuman kejahatan adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Namun, hal ini tidak membuat para pelaku menjadi jera.
“Kami pernah menemukan kasus dengan pelaku yang kembali melakukan kejahatan yang sama,” jelas Dwi Adhiasto selaku Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU).
Institusi ini merupakan unit khusus anti perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar yang dibentuk pada 2003 dan berkontribusi dalam membantu aparat melakukan penegakan hukum. Sepanjang 2016, WCU ikut berpartisipasi mengungkap kejahatan terhadap satwa liar dalam 52 kasus.
“Kami pernah menemukan kasus dengan pelaku yang kembali melakukan kejahatan yang sama,” jelas Dwi Adhiasto selaku Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU).
Dari 52 kasus yang diungkap aparat bersama WCU, 90 persennya berhasil sampai ke meja pengadilan. Sebanyak 28 kasus sedang dalam proses penyidikan atau persidangan, 19 kasus sampai dengan vonis, 4 kasus mendapat sanksi administrasi, dan 1 kasus dikentikan karena bukti belum kuat. Persoalannya adalah vonis yang dijatuhkan. WCU menyebutkan bahwa rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada pelaku sebesar 1-10 bulan penjara dan denda antara Rp11-50 juta.
Apakah undang-undang yang berlaku masih dianggap layak pada besaran maksimum hukuman? Pada kenyataannya vonis hukum yang selama ini diputuskan umumnya masih berada di bawah hukuman maksimum. Perkiraan dari WCU, 20 persen dari para pelaku akan kembali melakukan kejahatan serupa, mengingat keuntungan yang mereka raih dari hasil perdagangan satwa liar ini bisa jauh melebihi dari denda maksimum yang ditetapkan undang-undang.
Tantangan proses peradilan hingga vonis
Tantangan terkait peradilan ini menjadi kendala besar bagi aparat penegak hukum. Dalam beberapa aspek, tindak pidana kejahatan terhadap satwa liar merupakan kasus khusus yang dalam prosesnya sendiri cukup unik, seperti yang dijelaskan oleh Kombes Suwondo Nainggolan dari Bareskrim Polri. Ia memulai pembicaraan ini tentang kendala yang dihadapi oleh kepolisian.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR